Dalam menyikapi hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama, lailatul qadr adalah kekhususan bagi umat Islam. Tidak ada satu umat pun yang berserikat bersama mereka dalam hal ini.
Imam An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Lailatul qadr adalah malam terafdhal dalam setahun. Allah mengkhususkan (malam) itu untuk umat ini.” Demikian pula komentar Ibnul Mulaqqin, Ibnu Katsir, dan selainnya, bahkan Al-Khaththaby menganggap bahwa itu adalah kesepakatan kalangan ulama.
Pendapat kedua, lailatul qadr juga terdapat pada umat-umat terdahulu. Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “ ‘Wahai Rasulullah, apakah (malam) itu bersama para nabi sepanjang mereka ada, apabila mereka meninggal, (malam) itu juga ikut terangkat, ataukah (malam) itu (tetap ada) hingga hari kiamat?’ Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لَا، بَلْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
‘Tidak, tetapi (malam) itu (tetap ada) hingga hari kiamat.’.”
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata, “Yang ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu adalah bahwa lailatul qadr terdapat pada umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat pada umat kita.” Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Al-Qasthalany, Ibnu Hajar, dan selainnya.
Yang lebih kuat di antara dua pendapat di atas adalah pendapat pertama karena pendapat ini lebih mencocoki zhahir ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan lailatul qadr. Adapun hadits Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu, yang dijadikan sebagai hujjah oleh para ulama yang berpegang dengan pendapat kedua, itu adalah hadits lemah sebagaimana yang akan dijelaskan pada akhir buku ini.