Setelah kita memahami akan kewajiban zakat pada harta, harus diketahui pula bahwa, dalam pewajiban zakat tersebut, terdapat lima syarat yang harus terpenuhi. Rincian lima syarat tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama: Keislaman
Yang wajib mengeluarkan zakat adalah seorang muslim sebab zakat tidak diambil juga tidak diterima dari orang kafir, baik kafir murtad maupun kafir asli. Hal ini karena zakat adalah penyuci -sebagaimana kandungan ayat ke-103 surah At-Taubah- dan tidak akan menyucikan orang kafir.
Allah Jalla Jalâluhu berfirman pula,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
“Dan tiada yang menghalangi mereka agar nafkah-nafkah mereka diterima dari mereka, kecuali karena mereka kafir terhadap Allah dan rasul-Nya, serta mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali dengan malas, tidak pula menafkahkan (harta) mereka, kecuali dengan rasa enggan.” [At-Taubah: 54]
Namun, perlu diketahui bahwa, walaupun tidak wajib mengeluarkan zakat, orang kafir tetap dihisab pada hari kiamat. Hal ini merupakan salah satu kehinaan terhadap mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla menghikayatkan keadaan orang-orang mujrim yang disiksa dalam api neraka,
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ. وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ. وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ
“ ‘Apa sebab yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, tidak pula kami memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan hal yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.’.” [Al-Muddatstsir: 42-45]
Kedua: Al-Hurriyah ‘Kebebasan, Kemerdekaan, bukan Budak’
Zakat tidak diwajibkan terhadap seorang budak sebab seorang budak merupakan harta pemilik budak sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barangsiapa yang menjual seorang budak yang memiliki harta, harta budak itu adalah miliknya, kecuali bila si pembeli mempersyaratkan (bahwa harta itu menjadi miliknya).”
Karena seorang budak tidak memiliki harta, tentu dia tidak wajib mengeluarkan zakat.
Ketiga: Harta Telah Mencapai Nishab
Nishab adalah kadar yang ditentukan oleh syariat yang menjadi ukuran pewajiban zakat, bahwa zakat tidak diwajibkan bila harta tidak mencapai kadar tersebut. Persyaratan ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima wasaq (dari hasil bumi), tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima ekor unta, dan tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima uqîyah (dari perak).”
Insya Allah, akan datang rincian lebih lengkap tentang nishab setiap jenis harta yang terkena kewajiban zakat.
Keempat: Adanya Kepemilikan Harta Secara Tetap
Maksudnya adalah bahwa harta tersebut sudah dimiliki secara tetap dan sempurna, yang kepemilikan seseorang terhadap harta tersebut tidak akan gugur atau hilang.
Adapun seperti buah-buahan atau biji-bijian yang masih berada di pohonnya, tidak ada kewajiban zakat padanya, kecuali tanaman itu dipanen dan disimpan di tempat penyimpanannya, karena mungkin saja tanaman tersebut tertimpa musibah atau kerusakan sebelum dipanen.
Juga seperti orang yang menyewakan rumahnya, ongkos sewa yang dia pegang belum dianggap berada dalam kepemilikan tetapnya karena mungkin saja rumah yang disewakan itu roboh atau rusak dan ongkos sewa harus dikembalikan.
Contoh lain adalah seperti jatah hasil keuntungan yang belum dibagi di antara orang-orang yang berserikat dalam sebuah usaha. Walaupun jumlah keuntungan yang akan diterima telah diprediksi, sepanjang belum dibagi, harta tersebut belum masuk ke dalam kepemilikan tetapnya.
Pensyaratan ini berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban zakat pada harta, sedang harta yang terkena kewajiban zakat disandarkan kepada pemiliknya.
Kelima: Harta Telah Dimiliki Selama Satu Haul
Satu haul adalah satu tahun. Penanggalan yang dijadikan sebagai ukuran adalah Hijriah. Hal ini merupakan syarat sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
لاَ زَكَاةَ فِى مَالٍ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tiada zakat pada suatu harta, kecuali setelah harta itu telah dimiliki selama satu haul.”
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki harta berupa tabungan sebanyak Rp. 100 juta. Tabungan tersebut dia miliki hingga Muharram 1433 H. Maka, orang tersebut telah dikatakan memiliki harta selama satu haul.
Pengecualian Seputar Satu Haul
Pensyaratan seputar satu haul berlaku pada seluruh jenis harta yang yang terkena kewajiban zakat. Akan tetapi, para ulama memperkecualikan beberapa jenis:
Pertama: Zakat Hasil Bumi
Hal ini karena zakat hasil bumi dikeluarkan tatkala hasil bumi tersebut dipanen atau dipetik, tanpa perlu menunggu perputaran haul, berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Dan tunaikanlah hak (zakat)nya tatkala hasilnya dipanen (dengan menyedekahkan hasil itu kepada fakir miskin).” [Al-An’âm: 141]
Dalam ayat di atas, Allah Jalla Jalâluhu memerintah secara mutlak untuk mengeluarkan zakat tersebut ketika hasil bumi itu dipanen, tanpa ada penyebutan haul dan semisalnya.
Kedua: Hasil Pengembangbiakan Hewan Ternak yang Telah Mencapai Nishab
Apabila hewan ternak (yang telah mencapai nishab) memiliki keturunan, perhitungan haul keturunan itu diikutkan kepada perhitungan haul induknya.
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki 40 ekor kambing. Kemudian, seluruh kambingnya telah melahirkan 2 ekor, kecuali seekor kambing yang melahirkan 3 ekor. Sehingga, pada Muharram 1433 H, orang tersebut telah memiliki 121 ekor kambing (yang terdiri dari 40 ekor induk dan 81 ekor anak kambing). Oleh karena itu, orang tersebut wajib mengeluarkan zakat sejumlah 2 ekor kambing karena telah memiliki kambing sebanyak 121 ekor (sebab perhitungan haul 81 ekor anak kambing diikutkan kepada perhitungan haul 40 ekor induk kambing), bukan mengeluarkan zakat sejumlah 1 ekor kambing (karena menganggap haul 81 ekor anak kambing belum cukup).
Nanti akan dijelaskan bahwa seseorang wajib mengeluarkan zakat sejumlah 1 ekor kambing bila memiliki 40-120 ekor kambing, serta mengeluarkan zakat sebanyak 2 ekor kambing jika mempunyai 121-200 ekor kambing.
Selain itu, hasil pengembangbiakan hewan ternak juga diikutkan ke dalam perhitungan nishab. Demikian menurut pendapat yang lebih kuat.
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki 30 ekor kambing. Kemudian, hingga Syawal 1432 H, 10 ekor lahir dari kambing-kambing itu sehingga berjumlah 40 ekor. Maka, haul hewan tersebut dihitung bukan dari Muharram, melainkan dihitung dari Syawal.
Ketiga: Hasil Keuntungan dari Harta Perdagangan yang Telah Mencapai Nishab
Apabila seseorang memiliki modal perdagangan yang telah mencapai nishab, keuntungan dari perdagangan tersebut dihitung bersama haul modal asalnya.
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memulai suatu perniagaan dengan modal sebesar Rp 50 Juta. Hingga Rajab 1432 H, dia memeroleh keuntungan sebanyak Rp 50 juta. Memasuki Syawal 1432 H, dia memeroleh lagi keuntungan sejumlah Rp 50 juta. Mak, pada Muharram 1433 H, total harta perdagangan yang harus dikeluarkan zakatnya adalah Rp 150 juta. Demikianlah karena, walaupun modal asal berjumlah Rp 50 juta saat permulaan haul, keuntungan dia sejumlah Rp 100 juta tersebut tidak diharuskan untuk dihitung dalam satu haul tersendiri, tetapi keuntungan tersebut dihitung bersama haul modal asalnya.
Dalil bahwa hasil pengembangbiakan hewan ternak dan keuntungan perdagangan (yang keduanya telah mencapai nishab) dihitung kepada haul asalnya adalah kaidah “Cabang atau pengikut dikembalikan atau diikutkan kepada asalnya”.
Kaidah tersebut disimpulkan dari sejumlah dalil. Uraiannya belum sempat dijelaskan pada kesempatan ini.
Keempat: Ar-Rikâz
Harta terpendam dari temuan peninggalan masa jahiliyah disebut dengan nama ar-rikâz. Ar-rikâz ini adalah harta yang dikeluarkan sebanyak seperlima tatkala ditemukan.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“… Dan pada ar-rikâz, (zakat dikeluarkan sebanyak) seperlima.”
Menunjukkan bahwa barang siapa yang menemukan ar-rikâz, dia wajib mengeluarkan seperlima bagian dari ar-rikâz itu, tanpa harus menunggu satu haul.
Akan datang, pembahasan bahwa ada silang pendapat di kalangan ulama, apakah seperlima yang dikeluarkan terhitung sebagai zakat atau terhitung sebagai fai`?
Tentunya, penyebutan bahwa ar-rikâz diperkecualikan dari perhitungan haul dibangun di atas pendapat bahwa seperlima yang dikeluarkan dari ar-rikâz adalah zakat.
Kelima: Hasil Tambang
Hasil tambang dianggap sama dengan ar-rikâz, dalam hal pengeluaran zakat secara segera, oleh kalangan ulama yang memandang bahwa ada kewajiban zakat pada hasil tambang ini. Insya Allah, akan diterangkan tentang silang pendapat ulama seputar zakat hasil tambang.
Terputusnya Haul
Setelah memahami fiqih seputar haul di atas, juga akan bisa diketahui bahwa haul suatu harta dianggap terputus pada beberapa keadaan:
Pertama, apabila nishab berkurang saat pertengahan haul.
Contoh: Seseorang memiliki 40 ekor kambing pada Muharram 1432 H. Namun, sebelum Muharram 1433 H tiba, kambingnya berkurang sebanyak 5 ekor karena meninggal. Maka, tidak ada kewajiban zakat pada kambing yang tersisa karena jumlah kambing tidak memenuhi nishab.
Kedua, apabila harta zakat dijual dengan selain jenisnya.
Contoh: Seseorang memiliki 40 ekor kambing, tetapi sebelum satu haul genap, kambing itu dijual dan pemiliknya memeroleh uang. Pada keadaan ini, tiada kewajiban zakat terhadap pemilik karena haul 40 ekor kambing telah terputus. Kecuali, kalau sang pemilik menjual kambingnya hanya untuk menghindar dari kewajiban zakat, darinya tetap dipungut 1 ekor kambing dari 40 ekor kambing sebagai kewajiban zakat.
Ketiga, apabila harta zakat diganti dengan harta jenis lain.
Contoh: seorang memiliki 40 ekor kambing, tetapi sebelum genap setahun, kambingnya ditukar dengan beberapa ekor sapi atau beberapa ekor unta. Pada keadaan ini, haul 40 ekor kambing telah terputus, dan dimulai dengan haul baru untuk sapi atau unta yang baru dia miliki yang telah mencapai nishab. Kecuali, kalau sang pemilik menjual kambingnya hanya untuk menghindar dari kewajiban zakat, darinya tetap dipungut 1 ekor kambing dari 40 ekor kambing sebagai kewajiban zakat.
Namun kalau dia mengganti harta zakatnya dengan jenis harta yang sama, haul harta tersebut tidak terputus.
Contoh: Seseorang memiliki 40 ekor kambing biasa pada Muharram 1432 H, kemudian pada Rajab 1432 H, dia mengganti kambing biasa tersebut dengan 40 ekor kambing domba. Pada keadaan ini, nishab tidak terputus, bahkan pada Muharram 1433 H, dia wajib mengeluarkan 1 ekor kambing sebagai zakat dari 40 ekor kambingnya.
Apapun harta yang diperdagangkan, haul tidaklah terputus dengan penjualan, penukaran dan penggantian, bahkan seluruh harta yang dia perdagangkan terhitung ke dalam haul selama dia masih meniatkan harta tersebut untuk diperdagangkan.
Beberapa Pembahasan Lain
Beberapa pembahasan yang perlu diterangkan, sebagai pelengkap dari pembahasan seputar syarat kewajiban zakat di atas, kami uraikan sebagai berikut.
Pertama: Harta Anak Kecil dan Harta Orang Tidak Waras
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang harta anak kecil dan harta orang tidak waras, apakah ada kewajiban zakat padanya atau tidak?
Pendapat yang lebih benar adalah bahwa anak kecil dan orang tidak waras tetap wajib mengeluarkan zakat sepanjang harta keduanya memenuhi syarat-syarat wajib zakat. Hal ini sebab zakat merupakan kewajiban yang berkaitan dengan harta, bukan hal yang berkaitan dengan kondisi pemilik harta tersebut.
Pendapat ini telah sah dari sejumlah shahabat dan tidak ada yang menyelisihi mereka. Dasar pendapat ini adalah dalil-dalil umum yang menunjukkan kewajiban zakat. Siapa saja yang memerhatikan dalil-dalil tersebut pasti akan menemukan bahwa zakat adalah berkaitan dengan harta itu sendiri. Perhatikanlah, misalnya, firman Allah ‘Azza wa Jalla,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” [At-Taubah: 103]
Dalil di atas menunjukkan pengambilan zakat dari harta, tidak merinci perihal kondisi para pemilik harta tersebut.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Mu’âdz bin Jabal,
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
“… Terangkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) terhadap mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.”
Perintah dalam sabda di atas berlaku mutlak, yang menandakan bahwa kedudukan antara seorang mukallaf dan yang bukan mukallaf adalah sama.
Berangkat dari kesimpulan di atas, wali (dari anak kecil atau orang tidak waras) mengeluarkan zakat dari harta yang menjadi amanah di pundak mereka.
Kedua: Zakat Orang yang Berutang
Bila seseorang mempunyai harta yang telah mencapai nishab, tetapi dia juga memiliki utang yang semisal dengan hartanya yang telah mencapai nishab tadi, atau harta tersebut tidak mencapai nishab apabila ia melunasi utangnya, apakah dia wajib mengeluarkan zakat?
Contoh: seseorang mempunyai harta sebesar Rp. 50 juta. Namun, dia memiliki utang sebanyak Rp. 50 juta pula. Setelah harta itu dimiliki selama satu haul, apakah ada kewajiban zakat padanya?
Para ulama juga berselisih pendapat dalam hal ini, tetapi pendapat yang lebih benar adalah bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakat sepanjang harta tadi masih berada di dalam kepemilikannya. Pendapat ini berdasarkan hadits-hadits umum tentang kewajiban zakat terhadap seseorang apabila harta telah mencapai nishab. Dalam hadits-hadits beliau, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta para pekerjanya untuk mengambil zakat, tanpa mempertanyakan apakah pemilik harta memiliki hutang atau tidak. Wallâhu A’lam.
Ketiga: Zakat Piutang
Yakni, seseorang meminjamkan suatu harta kepada orang lain, dan harta tersebut telah mencapai syarat-syarat kewajiban zakat. Letak permasalahan adalah bahwa harta tersebut tidak berada pada si pemilik piutang, tetapi berada pada si peminjam. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang zakat piutang ini.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa kewajiban zakat pada piutang terbagi ke dalam dua keadaan:
- bila si peminjam mampu mengembalikan pinjamannya.
Dalam keadaan ini, si pemilik piutang wajib mengeluarkan zakat dari pinjaman tersebut karena pinjaman tersebut mampu diambil oleh pemilik piutang kapan pun dia berkehendak, seakan-akan piutang itu telah berada di tangan pemilik piutang.
- Jika si peminjam sulit mengembalikan pinjamannya.
Bila si peminjam sulit atau tidak mampu mengembalikan pinjamannya, si pemilik piutang tidak wajib mengeluarkan zakat dari harta tersebut.
Namun, bila suatu hari si peminjam mengembalikan pinjaman kepada pemiliknya, sedang harta tersebut telah melebihi satu haul, apakah si pemilik harus mengeluarkan zakatnya?
Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran dalam hal ini adalah bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat terhadapnya karena salah satu syarat pewajiban zakat adalah harta berada dalam kepemilikan tetap dan telah dimiliki selama satu haul. Akan tetapi, bila si pemilik piutang mengeluarkan zakat dari piutang yang baru diterima tersebut sebagaimana seseorang yang mengeluarkan zakatnya setelah setahun, hal itu lebih baik dan lebih berhati-hati. Wallâhu A’lam.
Keempat: Menggugurkan Piutang dengan Niat Mengeluarkan Zakat
Bila seseorang mempunyai piutang pada orang lain, sementara dia sendiri wajib mengeluarkan zakat. Apakah dia boleh menggugurkan piutang tersebut (menganggap bahwa piutang itu telah lunas) dengan meniatkan piutang itu sebagai zakat yang dia keluarkan?
Maksud penyaluran zakat adalah memberi santunan dan mengeluarkan harta untuk siapa saja yang berhak mendapatkannya. Hal ini berbeda dengan pengguguran piutang yang bersifat pembebasan, bukan pemberian dan penyaluran. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menggugurkan piutangnya dengan meniatkan piutangnya sebagai zakat.
Kelima: Keberadaan Harta Bukanlah Syarat pada Kewajiban Zakat
Makna ketentuan di atas adalah bila terjadi suatu penyebab, misalnya seseorang memiliki sejumlah harta yang telah mencapai nishab, tetapi tiba-tiba harta tersebut dicuri, atau misalnya seseorang memiliki barang yang telah terkena kewajiban zakat pada suatu toko, tetapi tiba-tiba toko itu terbakar. Dalam hal ini, kewajiban zakat tidaklah gugur terhadap pemiliknya selama penyebab kerusakan atau kehilangan barang tersebut berasal dari keteledoran atau kelalaiannya. Namun, kalau kerusakan atau kehilangan harta terjadi secara tidak sengaja, diluar dari kemampuan si pemilik, pemilik tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat.
Hal ini karena zakat adalah kewajiban yang melekat pada tanggung jawab pemilik setelah harta tersebut terpenuhi hukum wajib zakat. Ibarat suatu amanah yang, kalau ditelantarkan, kita wajib menggantinya. Wallâhu A’lam.
Keenam: Zakat Adalah Utang yang Melekat pada Harta Warisan
Bila meninggal dalam keadaan belum menunaikan kewajiban zakatnya, seseorang tetap wajib mengeluarkan zakat (melalui ahli warisnya) dari harta warisannya, walaupun dia tidak berwasiat. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَاقْضُوا الَّذِى لَهُ ، فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Tunaikanlah segala hal yang merupakan hak Allah karena (hak) Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”
Ketujuh: Jenis Harta yang Dikeluarkan Zakatnya
Jenis-jenis harta yang dikeluarkan zakatnya adalah:
- Hewan ternak.
- Hasil bumi, buah-buahan, serta biji-bijian dan yang semakna dengannya, berupa makanan yang bisa ditakar/ditimbang dan bisa disimpan.
- Emas dan perak, serta apa saja yang semisal dengannya, seperti mata uang dan obligasi.
- Barang-barang yang diperdagangkan.
Ada beberapa pembahasan yang berkaitan dengan ar-rikâz, hasil tambang, bebatuan berharga, perhiasan, dan madu, yang insya Allah akan dijelaskan pada tempatnya.
Kedelapan: Pengecualian terhadap Jenis di atas
Tidak ada kewajiban zakat pada seluruh jenis yang tidak tergolong ke dalam harta yang terkena kewajiban zakat dan harta perdagangan, yakni bangunan tempat tinggal, mobil pribadi, pakaian, dan semisalnya.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
“Tiada shadaqah (baca: zakat) atas seorang muslim terhadap (kepemilikan) budak dan kudanya.”
Assalamau’alaykum…Ustazd,sy bekerja di korea dgn penhasilan rata2 15 jt/bln bgmn cara mengeluarkan zakatnya dan kemn tempat yg tepat membyrnya?.Jazaqallah khair…