Perlu diketahui bahwa lailatul qadr memiliki beberapa tanda yang, dengan tanda tersebut, kehadiran lailatul qadr diketahui. Di antara tanda itu adalah:
- Cahaya matahari tidak menyilaukan mata saat matahari terbit pada pagi hari lailatul qadr. Keterangan tentang hal ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Zirr bin Hubais radhiyallâhu ‘anhu bahwa (Zirr) berkata, “Saya bertanya kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu. Saya berkata, ‘Sesungguhnya saudaramu, Ibnu Mas’ûd, berkata, ‘Barangsiapa yang mengerjakan qiyâm selama setahun, dia mendapatkan lailatul qadr.’.’ Maka, Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu menjawab, ‘(Ibnu Mas’ud) menghendaki agar manusia tidak bersandar (dalam hal itu). Sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa lailatul qadr berada pada Ramadhan, dan (malam) itu berada pada sepuluh malam terakhir, serta (malam) itu berada malam kedua puluh tujuh.’ Kemudian, (Ubay) bersumpah –tanpa memperkecualikan- bahwa lailatul qadr berada pada malam kedua puluh tujuh. Saya bertanya, ‘Berdasarkan apa engkau berucap, wahai Abul Mundzir?’ Beliau menjawab, ‘Berdasarkan ayat (tanda atau bukti yang sangat jelas) yang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kabarkan kepada kami,
أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا
‘Sesungguhnya (matahari), yang terbit pada waktu itu, tidak ada cahaya yang menyilaukan padanya.’.’.”[1]
Tentang sabda beliau, “Tidak ada cahaya yang menyilaukan padanya,” Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullâh menyebut dua pendapat[2]:
Pertama, bahwa itu adalah tanda yang Allah khususkan untuk lailatul qadr.
Kedua, cahaya matahari tidak menyilaukan dikarenakan banyaknya malaikat yang menutupinya saat mereka naik ke langit.
- Pada malam itu, bulan seperti potongan baskom. Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata, “Kami membicarakan tentang lailatul qadr di sisi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda,
أَيُّكُمْ يَذْكُرُ حِينَ طَلَعَ الْقَمَرُ وَهُوَ مِثْلُ شِقِّ جَفْنَةٍ
‘Siapakah di antara kalian yang mengingat ketika bulan tampak, yang (bulan) itu seperti potongan baskom?’.” [3]
- Malam itu adalah malam yang tenang, suhunya tidak panas tidak pula dingin. Hal ini diterangkan dalam hadits Ubadah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَراً سَاطِعاً سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لاَ بَرْدَ فِيهَا وَلاَ حَرَّ وَلاَ يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ
“Sesungguhnya tanda lailatul qadr adalah jernih lagi terang, seakan-akan padanya ada bulan yang terang-benderang, tenang lagi sejuk, tidak ada dingin padanya tidak pula panas, dan tidak pula ada penghalalan pelemparan bintang pada malam itu hingga pagi, dan sesungguhnya tandanya adalah bahwa pada pagi hari, matahari keluar dengan sempurna tanpa ada kesilauan padanya, seperti bulan pada bulan purnama. Syaithan tidak halal untuk keluar bersama (lailatul qadr) pada hari itu.” [4]
- Hujan turun pada malam itu. Keterangan tentangnya dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Unais radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berasabda,
أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَأَرَانِيْ صُبْحَهَا أَسْجُدُ فِيْ مَاءٍ وَطِينٍ
“Telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadr, kemudian saya dibuat lupa terhadapnya, dan saya melihat bahwa diriku sujud di atas air dan tanah pada pagi hari.”
Abdullah bin Unais radhiyallâhu ‘anhu berkata, “Kami kehujanan pada malam kedua puluh tiga maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat dengan mengimami kami, kemudian beliau berlalu, sementara bekas air dan tanah berada pada dahi dan hidung beliau.”[5]
Demikian beberapa tanda yang diterangkan dalam dalil-dalil yang shahih, dan di sini, kami perlu mengingatkan beberapa perkara:
Pertama, pada lailatul qadr, tanda-tanda yang disebut di atas tidak mesti tampak seluruhnya.
Kedua, dari seluruh tanda di atas, yang paling jelas adalah ketika tidak ada cahaya yang menyilaukan dari matahari yang terbit pada pagi hari. Tentunya, tanda ini tampak setelah lailatul qadr berlalu, dan ini adalah salah satu hikmah yang sangat agung dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ agar seorang hamba bersemangat mengerjakan ibadah pada seluruh malam Ramadhan.
Ketiga, terdapat sejumlah kisah dari salafus shalih bahwa mereka melihat keadaan tertentu pada lailatul qadr, yakni air laut terasa tawar, pepohonan yang sujud, dan sebagainya. Akan tetapi, kami perlu mengingatkan bahwa tidak setiap kisah bisa diterima dari sisi keabsahannya, dan tidak setiap kisah mengandung petikan pelajaran umum. Kadang, sebagian hal terjadi pada orang-orang shalih sebaga suatu rahmat dan keutamaan dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Namun, bukan berarti bahwa orang yang tidak mengalami kejadian-kejadian seperti itu tidak mendapat lailatul qadr, bahkan lailatul qadr didapat oleh siapa saja yang menghidupkan malam itu dengan mengerjakan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
[1] Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dâwud, dan At-Tirmidzy.
[2] Sebagaimana dalam Syarh Muslim 8/92-93 karya An-Nawawy.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim.
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany karena beberapa pendukungnya. Bacalah pembahasan beliau dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah di sela-sela pembicaraan tentang hadits no. 4404 pada jilid 9 hal. 392-395.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim.