Ibnu Rajab menyebutkan bahwa banyak shahabat yang mengerjakan shalat Witir pada awal malam. Di antara mereka adalah Abu Bakr, ‘Utsman bin ‘Affân, ‘Â`idz bin ‘Amr, Anas, Râfi’ bin Khajid, Abu Hurairah, Abu Dzar, dan Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhum. Pendapat ini merupakan salah satu sisi pendapat di kalangan orang-orang Syâfi’iyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad serta diikuti oleh sebagian orang-orang Hanbaliyah. Alasan mereka adalah untuk lebih berhati-hati.
Namun, jumhur ulama menilai bahwa pelaksanaan shalat Witir pada akhir malam lebih utama. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama salaf seperti ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan selain mereka dari kalangan shahabat radhiyallâhu ‘anhum ajma’în. Bahkan, Ibnu Sirîn berkata, “Tidaklah mereka (yaitu para shahabat dan tabiin pada zaman beliau,-pent.) berselisih bahwa pelaksanaan shalat Witir pada akhir malam itu lebih afdhal.”
Pendapat ini pula yang dipegang oleh An-Nakha’iy, Mâlik, Ats-Tsaury, Abu Hanîfah, Ahmad -dalam riwayat yang paling masyhur darinya-, dan Ishâq.[1]
Tarjih
Insya Allah, yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan keafdhalan pelaksanaan qiyâm pada akhir malam. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya adalah hadits Jâbir bin ‘Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمَعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ
“Barangsiapa yang khawatir bahwa (dia) tidak akan mengerjakan qiyâm pada akhir malam, hendaknya ia mengerjakan shalat Witir pada awal malam, dan barangsiapa yang bersemangat untuk mengerjakan shalat Witir pada akhir malam, hendaknya ia mengerjakan shalat Witir pada akhir malam, karena shalat pada akhir malam disaksikan [2].” [3]
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ (وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : حِيْنَ يَمْضِيْ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ, وَفِيْ رِوَايَةٍ أُخْرَى لَهُ : إِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ أَوْ ثُلُثَاهُ) فَيَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهِ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita Tabâraka wa Ta’âlâ turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir (dalam salah satu riwayat Muslim, ‘Ketika sepertiga malam pertama telah berlalu,’ dan riwayat beliau yang lain, ‘Apabila seperdua atau dua pertiga malam telah berlalu.’), kemudian berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkan untuknya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan memberikan untuknya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, Aku akan mengampuninya.’.” [4]
[1] Bacalah uraian pendapat ulama di atas dalam Al-Mughny 2/596-597 dan Fathul Bâry 6/247-250 karya Ibnu Rajab.
[2] Yaitu disaksikan oleh malaikat rahmat. Demikian keterangan Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim 6/34.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 755.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 1145, 6321, 7494, Muslim no. 758, Abu Dâud no. 1315, 4733, At-Tirmidzy no. 3507, dan Ibnu Mâjah no. 1366.