Intisari Tauhid

MASUK SURGA DAN MASUK NERAKA KARENA SEEKOR LALAT

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( دَخَلَ الْجَنَّةَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ، ودَخَلَ النَّارَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ) قَالُوا: وَكَيْفَ ذَلِكَ يا رَسُولَ اللهِ؟! قَالَ: ( مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لَا يُجَاوِزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فقَالُوا لِأَحَدِهِمَا : قَرِّبْ ، قَالَ: لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ أُقَرِّبُ ، قَالُوا لَهُ : قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا، فَقَرَّبَ ذُبَابًا، فَخَلُّوا سَبِيلَهُ، فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا لِلْآخَرِ: قَرِّبْ، فقَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئًا دُونَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ) رَوَاهُ أَحْمَدُ.

“Ada seseorang yang masuk ke dalam surga karena seekor lalat, tetapi ada pula seseorang yang masuk ke dalam neraka karena seekor lalat.”

(Para shahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu (terjadi), wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Ada dua orang yang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang tidak seorang pun boleh melewati berhala itu, kecuali setelah mengurbankan sesuatu kepada (berhala) itu. Mereka (kaum tersebut) berkata kepada salah seorang di antara keduanya, ‘Berqurbanlah.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu apapun untuk kuqurbankan.”

Mereka berkata lagi kepadanya, ‘Berqurbanlah, meski hanya seekor lalat.’ Dia pun berqurban dengan seekor lalat maka mereka pun membiarkan dia berlalu. Oleh karena itulah, dia masuk ke dalam neraka. Kemudian, mereka berkata kepada seorang yang lain, ‘Berqurbanlah.’ Dia menjawab, ‘Aku tidak akan pernah mengurbankan sesuatu apapun kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla,’ maka mereka pun memenggal lehernya. Oleh karena itulah, dia masuk surga.” (HR. Ahmad)

 

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang bahaya dan kejelekan kesyirikan. Beliau pun bercerita kepada para shahabatnya, yang beliau memulai ceritanya dengan suatu permulaan yang menjadikan jiwa-jiwa merasakan keanehan dan memerhatikan cerita tersebut, yaitu, “Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat, tetapi ada pula yang masuk neraka karena seekor lalat,” yang (cerita) ini merupakan hal sepele yang telah menjadi sebab perkara yang membahayakan, dan menjadikan orang bertanya tentang rincian (cerita) itu.

Maka, di sini beliau merinci dengan berkata bahwa kedua orang tersebut -tampak bahwa keduanya berasal dari bani Israil- ingin melintasi suatu tempat yang, di pekarangan (tempat) itu, sebuah berhala diletakkan. Siapapun yang bermaksud melewati (tempat) itu diwajibkan menyembelih binatang sebagai bentuk taqarrub dan pengagungan kepada berhala tersebut.

Para penyembah berhala tadi meminta kepada kedua orang tadi untuk menjalankan aturan yang syirik itu. Salah seorang dari keduanya beralasan tidak memiliki sesuatu untuk diqurbankan maka mereka mau menerima qurban yang teringan sekalipun dari orang itu. Sebab, tujuan mereka adalah dicapainya kesepakatan atas kesyirikan tersebut. Sehingga, orang itu berqurban dengan seekor lalat untuk berhala tersebut, lalu mereka pun membiarkan orang itu melanjutkan perjalanan. Orang itupun dimasukkan ke dalam neraka karena perbuatannya karena ia telah melakukan kesyirikan tersebut serta menyetujui (menyepakati) mereka atas (kesyirikan tadi). Kemudian, mereka meminta kepada orang yang satunya agar (orang itu) bertaqarrub kepada berhala mereka. Orang itupun menolak dengan alasan bahwa hal itu terolong sebagai kesyirikan sehingga tidak akan mungkin ia kerjakan. Oleh karena itu, mereka membunuh orang tersebut sehingga orang tersebut dimasukkan ke dalam surga karena penolakannya terhadap kesyirikan.

Hadits ini menunjukkan bahwa menyembelih qurban tergolong sebagai ibadah, dan bahwa menyerahkan (qurban) kepada selain Allah tergolong sebagai kesyirikan.

Faedah Hadits

  1. Penjelasan tentang bahaya kesyirikan, meskipun pada sesuatu yang sepele.
  2. Bahwa kesyirikan mewajibkan pelakunya untuk masuk ke dalam neraka, sedangkan tauhid mewajibkan pelakunya untuk masuk ke dalam surga.
  3. Bahwa manusia kadang terjatuh ke dalam kesyirikan, sementara dia tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah kesyirikan yang mewajibkan untuk masuk ke dalam neraka.
  4. Peringatan terhadap dosa-dosa, meskipun (dosa) itu dianggap kecil.
  5. Bahwa orang (pertama) tersebut masuk ke dalam neraka berdasarkan suatu sebab yang tidak dia niatkan sejak awal, tetapi dia lakukan agar dapat lolos dari kejahatan penyembah berhala tersebut.
  6. Bahwa sesungguhnya seorang muslim, jika mengerjakan kesyirikan, batallah keislamannya dan akan masuk ke dalam neraka. (Demikianlah) sebab orang tersebut sebelumnya adalah muslim karena, kalau dia bukan seorang muslim, tentu tidak akan dikatakan, “Ada seseorang yang masuk ke dalam neraka karena seekor lalat.”
  7. Bahwa sesungguhnya yang dinilai adalah amalan hati, meskipun amalan anggota badannya kecil dan sedikit.
  8. Bahwa menyembelih adalah ibadah maka memalingkannya kepada selain Allah adalah syirik besar.
  9. Keutamaan tauhid dan besarnya buah yang dihasilkan oleh (tauhid).

10.Keutamaan bersabar di atas kebenaran.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Empat Sifat Terlaknat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ

‘Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah/kejahatan. Allah melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah.’.”(HR. Muslim)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya terhadap empat kejahatan. Beliau mengabarkan bahwa Allah Ta’âlâ mengusir dan menjauhkan pelaku salah satu di antara perkara tadi dari rahmat-Nya. Empat perkara itu adalah:

Pertama: bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allah karena hal itu berarti memalingkan ibadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak berhak mendapat peribadahan.

Kedua: orang yang mendoakan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau mencaci maki keduanya maupun menjadi sebab terjadinya hal tersebut. (Menjadi sebab terjadinya hal tersebut) yaitu dengan munculnya perbuatan tersebut dari dirinya terhadap kedua orang tua seseorang sehingga orang tersebut membalas dengan perbuatan yang sama terhadapnya.

Ketiga: orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, lalu menghalangi pelaksanaan hukuman tersebut kepada orang itu, atau ia ridha kepada kebid’ahan dalam agama dan mengakui (mendukung) kebid’ahan itu.

Keempat: pengubah tanda-tanda batas tanah, yang (tanda-tanda) itu memisahkan hak-hak pemiliknya masing-masing, dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempat sesungguhnya. Sehingga, oleh sebab itu, terjadilah pengambilan (penyerobotan) sebagian tanah orang lain secara zhalim.

Faedah Hadits

  1. Bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah diharamkan dengan pengharaman yang sangat, dan merupakan suatu kesyirikan yang berada pada garis terdepan di antara dosa-dosa besar.
  2. Bahwa penyembelihan adalah suatu ibadah sehingga wajib diserahkan hanya kepada Allah semata.
  3. Pengharaman melaknat dan mencaci maki kedua orang tua, baik secara langsung maupun menjadi sebab terjadinya hal itu.
  4. Pengharaman membantu dan melindungi para pelaku kejahatan dari penerapan hukum syar’i terhadap mereka, dan pengharaman ridha terhadap kebid’ahan.
  5. Keharaman mengubah batas-batas tanah dengan cara memajukan atau memundurkan (batas-batas) itu.
  6. Pembolehan melaknat berbagai jenis orang fasiq dalam rangka mencegah manusia dari kemaksiatan.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Kewajiban Ikhlash Pada Seluruh Ibadah

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, serta hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb alam semesta, tiada serikat bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (kepada-Nya).’.” [Al-An’âm: 162-163]

 

Allah memerintah Nabi-Nya untuk mengatakan kepada orang-orang musyrikin, yang menyembah selain Allah dan menyembelih untuk selain Allah, “Sesungguhnya aku mengikhlaskan untuk Allah: shalatku, sembelihanku, dan segala hal berupa keimanan dan amal shalih yang aku hidup dan mati di atas hal itu. Semua hal itu kutujukan kepada Allah semata, dan aku tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, bertolak belakang dengan sesuatu berupa kesyirikan yang kalian berada di atas (kesyirikan) tersebut.”

Faedah Ayat

1. Bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah syirik besar karena Allah menggandengkan (penyebutannya di dalam ayat) dengan shalat. Sebagaimana, seseorang yang mengerjakan shalat untuk selain Allah berarti dia telah berbuat kesyirikan, demikian pula orang yang menyembelih untuk selain Allah berarti dia telah berbuat kesyirikan.

2. Bahwa shalat dan menyembelih termasuk sebagai ibadah yang paling agung.

3. Kewajiban untuk ikhlas kepada Allah dalam semua peribadahan.

4. Bahwa ibadah-ibadah adalah tauqifiyyah -yaitu hanya bergantung pada perintah pembuat syariat- berdasarkan firman Allah Ta’âlâ, “Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.”

 

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Termasuk Kesyirikan Mencari Berkah Dari Pohon, Batu dan Lainnya

Dari Abu Wâqid Al-Laitsiy, beliau berkata, “Kami keluar (untuk berperang) bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (baru memeluk Islam). (Ketika itu) kaum musyrikin mempunyai sebatang pohon bidara tempat mereka berdiam diri dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka. (Pohon) itu dinamakan Dzâtu Anwâth. Oleh karena itu, tatkala melewati sebatang pohon bidara, kami pun berkata, ‘Wahai Rasulallah buatkanlah Dzâtu Anwâth untuk kami sebagaimana mereka mempunyai Dzâtu Anwâth.’ Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allahu Akbar -Sungguh itu merupakan tradisi (orang-orang sebelum kalian)-. Demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, kalian berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa, ‘Buatkanlah sembahan untuk kami sebagaimana mereka mempunyai sembahan-sembahan.’ Musa menjawab, ‘Sungguh kalian adalah kaum jahil.’ Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.’.” [HR. At-Tirmidzy]

Abu Waqîd mengabarkan suatu kejadian yang mengandung hal yang menakjubkan juga nasihat. Yaitu, mereka berperang bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melawan suku Hawâzin, sedang mereka baru saja memeluk Islam sehingga perkara kesyirikan tersembunyi bagi mereka. Ketika melihat perbuatan kaum musyrikin berupa meminta berkah kepada pohon, mereka pun meminta kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar dibuatkan pohon yang sama. Maka, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertakbir sebagai pengingkaran terhadap permintaan mereka dan pengagungan kepada Allah serta sebagai bentuk keheranan atas ucapan tersebut. Rasulullah juga mengabarkan bahwa ucapan (meminta dibuatkan pohon) itu menyerupai ucapan kaum (Nabi) Musa kepada Musa, “Jadikanlah bagi kami sembahan sebagaimana mereka mempunyai sembahan,” ketika (kaum Nabi Musa) melihat penyembah patung, juga (mengabarkan) bahwa permintaan mereka untuk dibuatkan pohon Dzâtu Anwâth berjalan di atas jalan (kaum Nabi Musa). Kemudian, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa umat ini akan mengikuti jalan orang-orang Yahudi dan Nashara, akan menempuh manhaj-manhaj orang-orang itu, dan mengerjakan perbuatan (orang-orang) tersebut. Itu adalah kabar yang bermakna celaan dan peringatan terhadap perbuatan tersebut.

Dalam hadits tersebut, terdapat dalil bahwa mencari berkah kepada pohon dan selainnya tergolong sebagai kesyirikan dan peribadahan kepada selain Allah.

Faedah Hadits

  1. Bahwa mencari berkah kepada pepohonan tergolong sebagai kesyirikan, demikian pula kepada bebatuan dan selainnya.
  2. Bahwa orang yang berpindah dari kebatilan -yang sudah menjadi adat kebiasaannya- tidaklah aman dari masih adanya sisa-sisa kebiasaan tersebut di dalam hatinya.
  3. Bahwa sebab terjadinya peribadahan kepada patung adalah karena pengagungan dan beri’tikaf di sisi (patung) serta mencari berkah kepada (patung) itu.
  4. Bahwasanya manusia kadang beranggapan baik kepada sesuatu yang dia sangka dapat mendekatkannya kepada Allah, padahal sesuatu itu justru menjauhkannya dari Allah.
  5. Bahwasanya seorang muslim seyogyanya bertasbih dan bertakbir ketika mendengar sesuatu yang tidak pantas diucapkan dalam agama atau ketika mendengar sesuatu yang mengherankan.
  6. Pengabaran tentang terjadinya kesyirikan pada umat ini, dan sungguh (hal itu) telah terjadi.
  7. Menunjukkan salah satu tanda kenabian shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yaitu terjadinya kesyirikan pada umat ini sebagaimana yang beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kabarkan.
  8. Larangan menyerupai orang-orang jahiliyah, Yahudi, dan Nasrani, kecuali hal-hal yang dalil tunjukkan bahwa hal itu termasuk ke dalam agama kita.
  9. Bahwa yang dianggap dalam hukum adalah makna, bukan nama, karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan permintaan mereka seperti permintaan Bani Israil dan tidak melihat keadaan mereka, yang (Bani Israil) menamakan (sembahan)nya dengan Dzâtu Anwâth.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Tidak Ada Hujjah Bagi Kesyirikan, Kecuali Prasangka Dan Hawa Nafsu

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى. إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى

“Terangkanlah kepadaku (wahai kaum musyrikin) tentang Al-Lâta, Al-‘Uzzâ, dan Manâh, yang ketiga dan terakhir? Apakah pantas: (anak) laki-laki untuk kalian, sedangkan (anak) perempuan untuk Allah? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tiada lain hanyalah nama-nama yang diada-adakan oleh kalian dan bapak-bapak kalian. Allah tidaklah menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tiada lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan keinginan nafsu, padahal sesungguhnya telah datang hidayah dari Rabb mereka kepada mereka.” [An-Najm: 19-23]

 

Allah meminta hujjah kepada kaum musyrikin tentang peribadahan mereka kepada benda yang tidak berakal, berupa ketiga berhala tersebut, apa yang kalian dapatkan dari (berhala-berhala) tersebut?! Allah juga mencela mereka atas kecurangan yang mereka lakukan dalam pembagian, bahwa mereka menyucikan diri mereka terhadap kepemilikan anak perempuan dan menjadikan anak perempuan itu untuk Allah.

Kemudian, Allah meminta keterangan kepada mereka tentang kebenaran peribadahan kepada berhala-berhala tersebut, dan menjelaskan bahwa persangkaan dan keinginan jiwa tidak bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan ini. Sesungguhnya hujjah dalam masalah itu hanyalah ada pada (risalah) yang para rasul bawa berupa keterangan-keterangan yang jelas dan hujjah-hujjah yang pasti tentang kewajiban beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadahan kepada patung.

Pada ayat ini, terdapat pengharaman mencari berkah kepada pepohonan dan batu-batuan serta penggolongan perbuatan tersebut sebagai kesyirikan. Sebab, sesungguhnya para penyembah patung-patung tersebut melakukan hal itu karena. meyakini akan mendapat berkah dari patung-patung tersebut dengan cara mengagungkan dan berdoa kepada (patung-patung) itu. Maka, mencari berkah kepada kuburan sama seperti mencari berkah kepada Lâta, sedang mencari berkah kepada pepohonan dan bebatuan sama seperti mencari berkah kepada ‘Uzzâ dan Manâh.

 

Faedah Ayat-Ayat

  1. Bahwasanya mencari berkah kepada pohon dan batu tergolong sebagai kesyirikan.
  2. Pensyariatan untuk membantah orang-orang musyrikin dalam membatalkan kesyirikan dan menetapkan tauhid.
  3. Bahwa hukum tidaklah ditetapkan, kecuali berdasarkan dalil dari (syariat) yang Allah turunkan, bukan semata-mata berdasarkan prasangka dan hawa nafsu.
  4. Bahwa Allah telah menegakkan hujjah dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Larangan Rasulullah Shallallahu‘Alaihi Wa Sallam Untuk Memakai/Menggantungkan Jimat

Pada satu perjalanannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk mengumumkan:

أَنْ لَا يَبْقِيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةً مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةً إِلَّا قُطِعَتْ.

“Tidaklah ada kalung dari tali busur atau kalung apapun pada leher unta, kecuali harus diputus.” (HR. Al-Bukhâry dan Muslim)

 

Pada satu kesempatan dalam perjalanan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau mengutus seseorang untuk menyeru manusia agar melepaskan tali-tali yang ada di leher unta-unta mereka, yang (tali itu) ditujukan sebagai penolak ‘ain dan bala, karena hal tersebut tergolong sebagai kesyirikan yang wajib dihilangkan.

 

Faedah Hadits

  1. Bahwa menggantungkan bekas tali busur panah (untuk tolak bala) masuk ke dalam hukum tamimah (jimat) yang dilarang.
  2. Menghilangkan kemungkaran.
  3. Menyampaikan perkara kepada manusia yang bisa menjaga aqidah mereka.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Menggantungkan/Memakai Jimat Adalah Kesyirikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ تَميمَةً فَلَا أَتَمَّ اللهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدْعَة فَلَا وَدَعَ اللهُ لَهُ، وَفِي رِوَايَةٍ: مَنْ تَعَلَّقَ تَميمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, niscaya Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa yang menggantungkan wad’ah, niscaya Allah tidak akan memberi ketenangan pada dirinya.” (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain (disebutkan), “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, sungguh dia telah berbuat syirik.”

 

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelekan bagi para pemakai tamimah (jimat), yang meyakini bahwa hal itu bisa menangkal/melindungi dari bahaya, agar Allah membalikkan keadaan orang tersebut dari yang dimaksudkan dan tidak menyempurnakan urusannya, sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mendoakan kejelekan bagi para pemakai wad’ah -dengan tujuan untuk menolak/melindungi diri terhadap bahaya-, agar Allah tidak membiarkan mereka merasa santai dan berada dalam ketenangan, tetapi menimpakan semua gangguan kepadanya. Doa tersebut bermaksud sebagai peringatan agar manusia tidak melakukan hal tersebut sebagaimana yang Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits kedua bahwa hal itu termasuk sebagai kesyirikan terhadap Allah.

 

Faedah Kedua Hadits

  1. Bahwa menggantungkan tamimah dan wad’ah tergolong sebagai kesyirikan.
  2. Bahwa barangsiapa yang bersandar kepada selain Allah, Allah akan memperlakukan dia dengan memberikan sesuatu kepadanya yang berlawanan dengan maksudnya.
  3. Pensyariatan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang-orang yang menggantungkan tamimah dan wad’ah agar mereka tidak mendapatkan hal yang dia maksudkan dan agar diberi sesuatu yang berlawanan dengan tujuan yang diinginkan.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Kesyirikan Adalah Sebab Kelemahan

Shahabat yang mulia, Imron bin Hushain radhiallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا فِي يَدِهِ حَلْقَةٌ مِنْ صُفْرٍ، فَقَالَ: ( مَا هَذِهِ؟)، قَالَ: مِنَ الْوَاهِنَةِ. فَقَالَ: (انْزِعْهَا فَإِنَّهَا لَا تَزيدُكَ إِلَّا وَهْنًا، فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ، مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا ). رَوَاهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ لَا بَأْسَ بِهِ.

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat seorang lelaki yang di tangannya terdapat gelang kuningan maka beliau bertanya, ‘(Gelang) apa ini?’ Lelaki itu menjawab, ‘(penangkal) al-wâhinah.’ Beliau pun bersabda, ‘Lepaskanlah (gelang) itu karena (gelang) itu tidak akan menambah sesuatu pada dirimu, kecuali kelemahan. Sebab, jika meninggal dalam keadaan (gelang) itu (masih melekat) pada (tubuh)mu, engkau tidak akan beruntung selamanya.’.”(HR. Ahmad dengan sanad yang tidak mengapa)

Kepada kita, ‘Imran bin Hushain radhiyallâhu ‘anhu menyebutkan salah satu sikap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam memerangi kesyirikan dan membebaskan manusia dari kesyirikan. Sikap itu adalah:

Ketika melihat seseorang memakai gelang yang terbuat dari kuningan, beliau bertanya tentang sebab ia memakai gelang tersebut. Orang itu menjawab bahwa ia memakai gelang untuk melindungi diri dari penyakit maka beliau segera memerintah orang itu untuk melepas (gelang) tersebut dan mengabarkan bahwa hal itu tidak mendatangkan manfaat, bahkan akan membahayakan dan akan menambah penyakit, yang dengan alasan itu ia memakai gelang tersebut. Bahkan, lebih dari itu, seandainya terus memakai gelang itu sampai meninggal, ia akan diharamkan untuk mendapatkan keberuntungan di akhirat.

Faedah Hadits

  1. Memakai gelang atau selainnya untuk melindungi diri dari penyakit termasuk sebagai kesyirikan.
  2. Larangan untuk berobat dengan sesuatu yang haram.
  3. Mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang belum tahu.
  4. Bahaya kesyirikan di dunia dan di akhirat.
  5. Seorang mufti, secara lebih detail, menanyakan suatu masalah dan menghukumi sesuatu berdasarkan tujuan sesuatu tersebut.
  6. Bahwa syirik kecil termasuk ke dalam dosa besar.
  7. Bahwa kesyirikan tidak menerima udzur berdasarkan ketidaktahuan.
  8. Teguran keras dalam mengingkari pelaku kesyirikan dengan tujuan agar orang tersebut lari (menjauh) dari kesyirikan itu.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Kelemahan Berhala Adalah Bukti Kebatilan Kesyirikan

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ.

“Katakanlah (Muhammad kepada kaum musyrikin), ‘Terangkanlah kepadaku tentang (sembahan-sembahan) selain Allah yang kalian seru. Jika Allah menghendaki untuk menimpakan suatu bahaya kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bahaya itu? Atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku, apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku. Hanya kepada-Nyalah, orang-orang yang berserah diri bertawakkal.’.” [Az-Zumar: 38]

 

Allah memerintah Nabi-Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya kepada kaum musyrikin -dengan pertanyaan pengingkaran- tentang patung-patung yang mereka sembah bersama Allah, apakah (patung-patung) itu mampu memberi manfaat atau menolak bahaya? Maka mereka pasti akan mengakui kelemahan patung-patung mereka terhadap hal itu. Kalau keadaan mereka demikian, telah batallah peribadahan kepada patung-patung tersebut.

Faedah Ayat

  1. Kebatilan perbuatan syirik, karena semua yang disembah selain Allah tidak berkuasa atas bahaya tidak pula manfaat bagi para penyembahnya.
  2. Pensyariatan untuk mendebat kaum musyrikin guna membatilkan kesyirikan mereka.
  3. Kewajiban untuk bersandar kepada Allah semata dan menyerahkan semua urusan kepada-Nya.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Termasuk Keutamaan Tauhid: Terjaganya Darah dan Harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ، حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلى اللهِ عَزَ وَجَلَّ.

“Barang siapa yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh dan mengingkari segala sembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya terserah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa membunuh atau mengambil harta seseorang tidaklah haram, kecuali dengan terkumpulnya dua perkara:

  1. Ucapan Lâ Ilâha Illallâh.
  2. Kufur terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah.

Apabila dua perkara ini terdapat pada diri seseorang, (kita) wajib menahan diri terhadap orang tersebut secara zhahir dan menyerahkan urusan batinnya kepada Allah. Apabila ia jujur dalam hatinya, Allah akan membalasnya dengan surga yang penuh dengan kenikmatan. (Namun), kalau ia munafik, Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang sangat pedih. Oleh karena itu, di dunia, seseorang dihukumi berdasarkan zhahirnya (hal yang tampak).

Faedah Hadits

  1. Bahwa makna Lâ Ilâha Illallâh adalah kufur terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah, seperti patung-patung, kuburan, dan selainnya.
  2. Bahwa sekadar mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh tanpa mengufuri sembahan selain Allah tidaklah mengharamkan darah dan harta seseorang, meskipun ia mengetahui makna dan mengamalkan kalimat tersebut, selama ia tidak menggabungkan sikap kufur terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah dengan (pengucapan kalimat) itu.
  3. Barangsiapa yang menyatakan ketauhidan kepada Allah dan komitmen kepada syariat-syariat-Nya secara zhahir, (kita) wajib menahan diri darinya sampai perkara-perkara yang menyelisihi hal tersebut tampak jelas darinya.
  4. Kewajiban untuk menahan diri dari seorang kafir jika dia memeluk Islam -meskipun dalam keadaan perang-, sampai perkara-perkara yang menyelisihi hal tersebut tampak jelas darinya.
  5. Seseorang kadang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh, tetapi tidak mengufuri segala sesuatu yang disembah selain Allah.
  6. Bahwa hukum di dunia berdasarkan hal yang tampak (zhahir), sedangkan hukum di akhirat berdasarkan niat dan maksud.
  7. Keharaman harta dan darah seorang muslim, kecuali dengan haknya.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Menauhidkan Allah dengan Mengesakan Kecintaan Hanya Kepadanya

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ.

“Dan di antara manusia, ada yang mengadakan (sembahan) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (terhadap-Nya), yang mereka mencintai (tandingan-tandingan) itu sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, cinta mereka amatlah dalam kepada Allah. Seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu hanyalah milik Allah seluruhnya dan bahwa siksaan Allah amatlah dahsyat, (niscaya mereka akan menyesal).” [Al-Baqarah: 165]

Allah Ta’âlâ menyebutkan keadaan orang-orang yang berbuat syirik terhadap-Nya, di dunia dan tempat kembali mereka di akhirat, ketika mereka mengadakan tandingan-tandingan dan padanan-padanan bagi Allah dengan menyamakan tandingan-tandingan tersebut dengan Allah dalam kecintaan.

Kemudian Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang beriman muwahhidûn, bahwa mereka mencintai Allah melebihi kecintaan orang-orang (yang membuat tandingan) kepada tandingan-tandingan tersebut, atau melebihi kecintaan orang yang membuat tandingan kepada
Allah. Karena, kecintaan orang yang beriman kepada-Nya adalah murni, sedangkan kecintaan orang-orang yang membuat tandingan adalah bercabang/tercampur.

Kemudian, Allah mengancam orang-orang musyrikin itu bahwa, seandainya mereka mengetahui segala sesuatu yang akan dilihat dan menimpa kepada mereka,berupa perkara yang mengerikan dan adzab yang dahsyat nanti pada hari kiamat karena kesyirikan yang mereka lakukan, juga (mengetahui) keesaan Allah dalam kemampuan dan kemenangan terhadap tandingan-tandingan mereka, pasti mereka akan berhenti dari kesesatan yang mereka lakukan. Akan tetapi, hal itu tidak tergambar dalam diri mereka juga mereka tidak mengimani hal itu.

Faedah Ayat:

1. Bahwa termasuk ke dalam makna tauhid dan syahadat Lâ Ilâha Illallâh: menunggalkan kecintaan kepada Allah dengan kecintaan yang mengharuskan adanya perendahan diri dan ketundukan.

2. Bahwa orang-orang musyrikin mencintai Allah dengankecintaan yang besar, tetapi (kecintaan) tersebut belum dapatmemasukkan mereka ke dalam Islam karena mereka menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam hal itu.

3. Bahwa kesyirikan adalah kezhaliman.

4. Ancaman terhadap orang-orang musyrikin pada hari kiamat.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Meninggalkan Segala Macam Bentuk Pengkultusan Individu

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْأَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَاأُمِرُوا إِلَّالِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَسُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ.

“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah, juga (mereka menyembah) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka tiada lain diperintah untuk beribadah hanya kepada sembahan yang satu, yang tiada sembahan (yang berhak untuk disembah), kecuali Dia. Maha Suci Dia terhadap segala sesuatu yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]

Allah Subhânahu mengabarkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashara bahwa mereka meminta nasihat kepada tokoh-tokoh mereka, dari kalangan ulama dan ahli ibadah, maka mereka pun menaati (ulama dan ahli ibadah) itu dalam penghalalan segala sesuatu yang telah Allah haramkan dan pengharaman segala sesuatu yang telah Dia halalkan. Dengan demikian, mereka telah mendudukkan ulama dan ahli ibadah sebagai Rabb yang memiliki kekhususan dalam penghalalan dan pengharaman sebagaimana orang-orang Nashara menyembah Isa dengan menyatakan bahwa Isa adalah anak Allah. Mereka telah mencampakkan kitab Allah, yang telah memerintahkan mereka untuk taat hanya kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya semata -kabar dari Allah ini mengandung pengingkaran terhadap perbuatan mereka-. Oleh karena itu, Allah menyucikan diri-Nya terhadap kesyirikan yang terkandung dalam perbuatan mereka itu.

Faedah Ayat:
1. Bahwa termasuk makna tauhid dan syahadat Lâ Ilâha Illallâh: menaati Allah dalam penghalalan dan pengharaman.
2. Bahwa barang siapa yang menaati makhluk dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia telah menjadikan makhluk tersebut sebagai sekutu bagi Allah.
3. Bantahan terhadap orang Nashara akan keyakinan mereka
tentang Isa ‘alaihis salâm, dan keterangan bahwa beliau adalah hamba Allah.
4. Menyucikan Allah dari kesyirikan.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Berlepas Diri Dari Seluruh Peribadahan Kepada Selain Allah

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِيبَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ. إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُسَيَهْدِينِ.

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala sesuatu yang kalian sembah, kecuali Dia Yang telah menciptakanku karena sesungguhnya hanya Dia yang memberi hidayah (kepadaku).’.”
[Az-Zukhruf: 26-27]

Allah mengabarkan tentang hamba-Nya, rasul-Nya, dan khalîl-Nya (yaitu Ibrahim ‘alaihis salâm) bahwa beliau berlepas diri dari segala sesuatu yang disembah oleh bapaknya dan kaumnya, serta beliau tidak memperkecualikan (apa-apa), kecuali Yang telah menciptakan dirinya, yaitu Allah Ta’âlâ. Maka, Ibrahim menyembah hanya kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya.

Faedah Ayat:
1. Bahwa makna Lâ Ilâha Illallâh adalah menauhidkan Allah dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya dan barâ` ‘berlepas diri’ dari peribadahan kepada segala sesuatu selain Allah.
2. Menampakkan sikap barâ`ah (berlepas diri) terhadap agama orang-orang musyrikin.
3. Pensyariatan untuk berlepas diri dari musuh-musuh Allah, meskipun mereka adalah orang-orang terdekat kita.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Beribadah Hanya Kepada yang Maha Mencipta Bukan yang Dicipta

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Orang-orang yang diseru oleh kaum musyrikin itu juga berusaha untuk mencari jalan kepada Rabb mereka agar lebih dekat (kepada-Nya), serta mereka mengharapkan rahmat- Nya dan takut terhadap adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” [Al-Isrâ`: 57]

Allah Subhânahu mengabarkan bahwa mereka yang disembah selain Allah oleh orang-orang musyrikin, dari kalangan malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih, (mereka sendiri) bersegera mencari pendekatan diri kepada Allah karena mengharap rahmat dan takut terhadap adzab Allah.
Kalau keadaan mereka seperti itu, berarti mereka termasuk ke dalam kategori hamba-hamba Allah maka bagaimana bisa mereka disembah bersama Allah Ta’âlâ? Sementara mereka sibuk dengan diri mereka sendiri, berdoa dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya.

Faedah Ayat:
1. Bantahan terhadap orang-orang yang berdoa kepada para wali dan orang shalih untuk menghilangkan bahaya dan memperoleh manfaat. Karena, mereka yang diseru itu tidak kuasa menolak bahaya dan mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, maka bagaimana bisa ia melakukan hal itu untuk orang lain.
2. Penjelasan tentang besarnya rasa takut para Nabi dan orang-orang shalih kepada Allah dan penjelasan tentang harapan mereka kepada rahmat Allah.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Dakwah yang Pertama dan Utama Adalah Dakwah Tauhid

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Muadz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau mengutusnya untuk berdakwah di negeri Yaman:

إِنَّكَ تَأْتِيْ قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُم إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُوَفِيْ رِوَايَةِ: (إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ) أَخْرَجَاهُ.

“Sungguh, engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab maka hendaklah dakwah yang kamu sampaikan pertama kali kepada mereka ialah syahadat Lâ Ilâha Illallâh -dalam riwayat lain disebutkan, ‘(Ialah) supaya mereka menauhidkan Allah.’- Jika mereka mematuhimu dalam hal itu, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam kepada mereka. Jika mereka telah mematuhimu dalam hal itu, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka telah mematuhi dalam hal itu, jauhkanlah dirimu dari harta terbaik mereka, dan jagalah dirimu terhadap doa orang yang terzhalimi karena sesungguhnya tiada suatu tabir penghalang pun antara doanya dengan Allah.’.”
Dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâry dan Muslim).

Ketika mengutus Mu’âdz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu ke wilayah Yaman sebagai da’i yang mengajak kepada Allah dan sebagai pengajar, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggariskan langkah-langkah yang harus Mu’âdz tempuh dalam dakwahnya. Beliau menjelaskan bahwa Mu’âdz akan menghadapi orang-orang yang berilmu dan pandai berdebat dari kalangan Yahudi dan Nashara, dengan maksud agar Mu’âdz berada dalam keadaan siap berdebat dan membantah syubhat-syubhat mereka, kemudian memulai dakwah dengan perkara terpenting lalu yang penting maka hendaknya yang pertama kali adalah menyeru manusia untuk memperbaiki aqidahnya karena aqidah merupakan pondasi. Kalau telah tunduk menerima hal tersebut, mereka diperintahkan untuk menegakkan shalat karena shalat merupakan kewajiban terbesar setelah bertauhid.Kalau mereka sudah menegakkan (shalat), orang-orang kaya (di antara mereka) diperintahkan untuk menyerahkan zakat hartanya kepada orang-orang faqir sebagai rasa kebersamaan dengan (orang-orang faqir) tersebut dan sebagai rasa syukur kepada Allah.
Kemudian beliau memperingatkan (Mu’âdz) tentang mengambil harta terbaik dalam zakat karena yang wajib adalah harta pertengahan. Setelah itu, Mu’âdz dianjurkan untuk berbuat adil dan meninggalkan kezhaliman supaya (Mu’âdz) tidak terkena doa orang yang terzhalimi karena doa tersebut akan Allah kabulkan.

Faedah Hadits:

1. Disyariatkannya pengiriman para da’i untuk mengajak manusia kepada Allah.
2. Bahwa syahadat Lâ Ilâha Illallâh adalah kewajiban pertama dan yang diserukan pertama kali kepada manusia.
3. Bahwa makna syahadat Lâ Ilâha Illallâh adalah menauhidkan Allah dalam ibadah dan meninggalkan peribadahan kepada selain-Nya.
4. Seorang yang kafir tidaklah dihukumi sebagai seorang muslim, kecuali setelah ia mengucapkan syahâdatain.
5. Bahwa seseorang kadang membaca dan mengilmui, tetapi tidak mengetahui makna Lâ Ilâha Illallâh. Atau, mengetahui makna (Lâ Ilâha Illallâh), tetapi tidak mengamalkan (kalimat) tersebut, seperti keadaan Ahli Kitab.
6. Bahwa orang yang diajak bicara dalam keadaan mengetahui tidaklah seperti orang jahil, sebagaimana dikatakan, “Sungguh, kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab.”
7. Peringatan terhadap manusia, khususnya para da’i, agar mereka betul-betul berada di atas bashirah tentang agamanya supaya terbebas dari syubhat para pembuat syubhat, yaitu dengan cara menuntut ilmu.
8. Shalat adalah kewajiban terbesar setelah syahâdatain.
9. Bahwa zakat adalah rukun yang paling wajib setelah shalat.
10. Penjelasan tentang salah satu golongan penerima zakat, yaitu orang-orang faqir, dan pembolehan memberi zakat hanya kepada mereka.
11. Bahwasanya tidak boleh mengambil zakat berupa harta terbaik, kecuali dengan keridhaan pemilik (harta) tersebut.
12. Peringatan terhadap perbuatan zhalim, dan bahwa doa orang yang terzhalimi adalah mustajab, meskipun ia adalah pelaku maksiat.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Jalan Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wa Sallam Adalah Dakwah Kepada Tauhid

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ.

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku. Aku danorang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (hanya) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidaklah termasuk sebagai orang-orang musyrik.’.” [Yûsuf: 108]

Allah memerintahkan Rasul-Nya agar (Rasul-Nya) mengabarkan manusia tentang jalan dan Sunnah-Nya, yaitu berdakwah mengajak kepada syahadat Lâ Ilâha Illallâh dengan dasar ilmu dan keyakinan serta keterangan yang jelas, dan (bahwa) semua orang yang mengikuti beliau juga berdakwah di atas dasar ilmu dan keyakinan akan hal yang didakwahkan.
Di samping itu, beliau beserta orang-orang yang mengikutinyamenjauhkan dan menyucikan Allah terhadap kepemilikan sekutu dalam kekuasaan dan peribadahan serta berlepas diri dari para pelakukesyirikan, meskipun mereka adalah orang yang paling dekat dengan dirinya.

Faedah Ayat:

1. Bahwa dakwah kepada syahadat Lâ Ilâha Illallâh merupakan jalan Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti beliau.
2. Bahwa orang yang berdakwah wajib mengilmui segala sesuatu yang dia dakwahkan dan mengilmui segala sesuatu yang ia larang dari (dakwah)nya.
3. Peringatan agar ikhlas dalam berdakwah, jangan sampai seorang yang berdakwah memiliki tujuan selain wajah Allah. Dengan dakwahnya, dia jangan bermaksud mendapatkan harta, kepemimpinan atau pujian dari manusia, atau menyeru kepada kelompok atau kepada madzhab tertentu.
4. Bahwa bashirah (ilmu dan keyakinan) merupakan hal wajib
karena mengikuti Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah wajib, sedangkan seseorang tidak mungkin bisa mengikuti Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kecuali dengan bashirah, yaitu ilmu dan keyakinan.
5. Menunjukkan kebagusan tauhid karena tauhid menyucikan Allah Ta’âlâ.
6. Menunjukan jeleknya kesyirikan karena kesyirikan adalah pencelaan terhadap Allah Ta’âlâ.
7. Kewajiban seorang muslim untuk menjauhkan diri dari orang-orang musyrikin sehingga (muslim) tersebut tidak menjadi bagian dari (orang-orang musyrikin) dalam satu perkara pun, dan tidaklah cukup dengan tidak berbuat syirik.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Surga Untuk Muwahhid dan Neraka Untuk Musyrik

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ لَا يُشْرِكُ به شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang menemui Allah (meninggal) dalam keadaan tidak berbuat syirik terhadap-Nya sedikit pun, pasti masuk surga, (tetapi) barangsiapa yang menemui-Nya (meninggal) dalam keadaan berbuat syirik terhadap-Nya sedikit sekalipun, dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa barang siapa yang meninggal di atas tauhid, perihal masuknya ia ke dalam surga adalah sudah pasti, meskipun ia adalah seorang pelaku dosa besar dan meninggal dalam keadaan terus menerus berbuat dosa maka ia berada di bawah kehendak Allah. Kalau menghendaki, Allah akan memaafkan dan langsung memasukkan dia ke surga. Akan tetapi, kalau menghendaki (lain), Allah akan mengadzab dia di neraka, kemudian dia
dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Adapun orang yang meninggal di atas kesyirikan besar, ia tidak akan masuk surga, tidak akan mendapat rahmat dari Allah, dan dikekalkan di neraka. Kalau meninggal di atas syirik kecil, ia dimasukkan ke dalam neraka (kalau tidak memiliki amal kebaikan yang mengalahkan
kesyirikannya), tetapi ia tidak akan kekal di dalam (neraka) tersebut.

Faedah Hadits:
1. Kewajiban takut terhadap kesyirikan karena, agar selamat dari neraka, dipersyaratkan untuk selamat dari kesyirikan.
2. Bahwasanya yang dianggap (yang menjadi ukuran) itu bukanlah banyaknya amalan, tetapi yang dianggap (sebagai ukuran) adalah selamatnya amalan dari kesyirikan.
3. Penjelasan tentang makna Lâ Ilâha Illallâh, yaitu meninggalkan kesyirikan dan mengesakan Allah dalam ibadah.
4. Dekatnya surga dan neraka dari seorang hamba, bahwasanya tiada yang memisahkan seorang hamba dengan surga atau neraka, kecuali kematian.
5. Keutamaan orang yang selamat dari kesyirikan.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Ancaman Bagi Pelaku Kesyirikan

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa (menyembah) selain Allah sebagai tandingan (bagi Allah), ia akan masuk ke dalam neraka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa, barangsiapa yang mengadakan tandingan yang disamakan dan diserupakan dengan Allah dalam peribadahan, yang ia berdoa, meminta, dan memohon keselamatan kepada (tandingan) itu, baik tandingan tersebut berupa nabi maupun selainnya, dan ia terus menerus berada dalam keadaan seperti itu sampai meninggal dan tidak bertaubat sebelum meninggal, tempat kembali dia adalah neraka karena ia telah musyrik.
Membuat tandingan (bagi Allah) ada dua macam:

Pertama: mengadakan sekutu bagi Allah dalam jenis-jenis ibadah atau pada sebagian (jenis) maka ini adalah syirik besar yang pelakunya kekal di neraka.

Kedua: hal-hal yang termasuk ke dalam syirik kecil, seperti ucapan seseorang, “Apa-apa yang Allah dan engkau kehendaki,” “Kalau bukan karena Allah dan kamu,” serta ucapan lain yang semisal yang mengandung kata sambung dan pada lafazh Jalâlah (Allah). Juga seperti riya yang ringan, ini tidak menjadikan pelakunya kekal di neraka meskipun masuk ke dalamnya.
Faedah Hadits:

1. Memberi pertakutan terhadap perbuatan syirik, dan anjuran untuk bertaubat dari kesyirikan sebelum seseorang meninggal.

2. Bahwa setiap orang yang, bersamaan dengan doanya kepada Allah, berdoa pula kepada seorang nabi atau wali, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, atau kepada batu atau pohon, berarti ia telah mengadakan tandingan bagi Allah.

3. Bahwa dosa syirik tidak akan diampuni, kecuali bila (pelakunya) bertaubat.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Bahaya Riya (Syirik Kecil)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ, فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ: الرِّيَاءُ.

“Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik kecil.”
Ketika ditanya tentang (syirik kecil) itu, beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy)

Karena kesempurnaan belas kasih dan sayang beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya serta kesempurnaan tulusnya kebaikan kepada mereka, tidaklah ada suatu kebaikan, kecuali pastilah beliau telah tunjukkan hal itu kepada umatnya, dan tidaklah ada suatu kejelekan, kecuali pastilah beliau telah peringatkan umat darinya. Di antara kejelekan yang Rasulullah peringatkan adalah penampilan yang menampakkan ibadah kepada Allah dengan maksud untuk mendapatkan pujian dari manusia karena hal itu termasuk ke dalam syirik dalam ibadah -yang meskipun syirik kecil, bahayanya sangat besar- sebab hal itu bisa membatalkan amalan yang disertainya juga tatkala jiwa memiliki tabiat senang akan kepemimpinan dan mendapatkan kedudukan di hati-hati manusia, kecuali orang-orang yang Allah selamatkan. Oleh karena itu, jadilah riya sebagai perkara yang sangat dikhawatirkan terjadi pada orang-orang shalih -karena kuatnya dorongan ke arah hal tersebut-. Berbeda dengan dorongan untuk berbuat syirik besar, yang boleh jadi (dorongan tersebut) tidak ada di dalam hati orang-orang mukmin yang sempurna, atau (dorongan tersebut) lemah kalaupun ada.

Faedah Hadits

1. Kekuatan rasa takut untuk terjatuh ke dalam syirik kecil. Hal itu ditinjau dari dua sisi:

a. Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan terjadinya syirik tersebut dengan kekhawatiran yang sangat.

b. Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan hal tersebut terhadap orang-orang shalih yang sempurna maka orang-orang yang (derajatnya) berada di bawah mereka tentu lebih dikhawatirkan untuk terjatuh ke dalam kesyirikan tersebut.

2. Besarnya kasih sayang beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya serta semangat beliau untuk memberi petunjuk dan nasihat kepada umatnya.

3. Bahwa kesyirikan terbagi menjadi syirik besar dan syirik kecil, -syirik besar berarti menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah dalam perkara-perkara yang menjadi kekhususan Allah, sedang syirik kecil adalah hal yang disebut dalam nash sebagai kesyirikan, tetapi tidak sampai pada derajat syirik besar-.

Perbedaan antara keduanya adalah:

a. Syirik besar membatalkan seluruh amalan, sedangkan syirik kecil hanya membatalkan amalan yang sedang dikerjakan.

b. Syirik besar menjadikan pelakunya kekal di neraka, sedangkan syirik kecil tidak menjadikan pelakunya kekal di neraka.

c. Syirik besar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedangkan syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari Islam.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Ketakutan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salâm Terhadap Kesyirikan

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salâm berkata:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“…Dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala-berhala.” [Ibrâhîm: 35]

Nabi Ibrahim Al-Khalîl ‘alaihish shalâtu was salâm berdoa kepada Rabb-nya ‘Azza wa Jalla agar menjadikan dirinya dan anak cucunya berada pada sisi yang jauh dari peribadahan kepada patung-patung, dan agar Allah menjauhkan dirinya dari peribadahan tersebut, karena fitnah dari (peribadahan) itu sangat besar, dan tiada yang aman dari terjerumus kepada (peribadahan) tersebut.

Faedah Ayat:
1. Sikap takut terhadap kesyirikan karena Ibrahim alaihi salam -yang beliau adalah pemimpin bagi orang-orang yang condong kepada tauhid dan jauh dari syirik, yang telah menghancurkan patung-patung dengan tangannya- khawatir bila dirinya terjatuh dalam kesyirikan maka bagaimana dengan selain Ibrahim ‘alaihis salâm?

2. Disyariatkan berdoa untuk menolak malapetaka, dan bahwasanya manusia
pasti perlu kepada Allah.

3. Disyariatkan berdoa untuk kebaikan diri dan anak keturunannya.

4. Bantahan terhadap orang-orang jahil yang mengatakan, “Kesyirikan tidak akan terjadi pada umat ini,” sehingga mereka merasa aman dari hal maka mereka pun terjerumus ke dalam hal tersebut.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Kesyirikan Dosa Tak Terampuni

Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, (tetapi) Dia mengampuni (dosa) selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ`: 48, 116]

Bahwa Allah Subhânahu mengabarkan dengan kabar yang pasti bahwa diri-Nya tidak akan memaafkan seorang hamba yang berjumpa dengan-Nya dalam keadaan berbuat syirik, dengan tujuan untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kesyirikan, dan bahwa Allah akan memaafkan dosa-dosa selain dosa syirik bagi siapa saja yang Dia kehendaki untuk dimaafkan sebagai karunia dan kebaikan dari-Nya, agar kita tidak berputus asa dari rahmat Allah.

 

Faedah Ayat:
1. Bahwa syirik merupakan dosa terbesar karena Allah telah mengabarkan bahwa diri-Nya tidak akan mengampuni orang yang tidak bertaubat dari perbuatan syirik.

2. Bahwa dosa-dosa selain dosa syirik, apabila seseorang tidak bertaubat darinya, masuk di bawah kehendak Allah. Kalau menghendaki, Allah akan mengampuninya tanpa bertaubat, dan kalau menghendaki, Dia akan mengadzab karenanya. Maka, dalam hal ini, terdapat dalil tentang bahaya dosa syirik.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Sifat-Sifat Mereka yang Merealisasikan Tauhid

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang menjadi teladan, senantiasa patuh kepada Allah dan menghadapkan diri (hanya kepada kepada-Nya), serta sama sekali ia tidak termasuk sebagai orang-orang musyrik.” [An-Nahl: 120]

Makna Ayat Pertama secara Global

Bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menyifati Ibrahim, khalil-Nya ‘alaihis salâm, dengan empat sifat:

Sifat pertama, bahwa Ibrahim adalah teladan dalam kebaikan untuk menyempurnakan derajat kesabaran dan keyakinannya yang, dengan keduanya, akan teraih kepemimpinan dalam agama.

Sifat kedua, bahwa Ibrahim adalah seorang yang khusyu’, taat, dan terus menerus beribadah kepada Allah Ta’âlâ.

Sifat ketiga, bahwa Ibrahim berpaling dari kesyirikan dan menghadapkan diri hanya kepada Allah Ta’âlâ.

Sifat keempat, jauhnya Ibrahim dari kesyirikan dan berlepas dirinya ia dari orang-orang musyrikin

Faedah Ayat:

1. ​Keutamaan bapak kita, Ibrahim ‘alaihis shalâtu wa salâm.

2. ​Meneladani Nabi Ibrahim pada sifat-sifat agung tersebut.

3. ​Penjelasan tentang sifat-sifat yang dengannyalah realisasi tauhid dapat terpenuhi.

4. ​Kewajiban menjauhi kesyirikan dan orang-orang musyrikin serta berlepas diri dari orang-orang musyrikin tersebut.

5. ​Seseorang disifati sebagai orang beriman karena merealisasikan tauhid.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Ampunan yang Maha Besar bagi Mereka yang Bertauhid dan Tidak Berlaku Syirik

وَلِلتِّرْمِذِيِّ – وَحَسَّنَهُ: عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئاً لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً(

Dalam riwayat At-Tirmidzy -beliau menghasankannya- (disebutkan): Dari Anas radhiyallâhu ‘anhu (beliau berkata), “Saya mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Ta’âlâ berfirman, ‘Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, (tetapi) kemudian engkau meninggal (dalam keadaan) tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Ku, niscaya Aku memberikan ampunan sepenuh bumi pula kepadamu.’.’.”

Makna Hadits Secara Global

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa (Allah) berbicara kepada hamba-hamba-Nya dan menjelaskan kepada mereka tentang keluasan karunia dan rahmat-Nya, dan bahwasanya Allah akan mengampuni dosa-dosa sebanyak apapun selama bukan dosa syirik. Hadits ini memiliki makna seperti firman Allah Ta’âlâ,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni dosa kesyirikan, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain (kesyirikan) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ`: 48, 116]

Faedah Hadits:

1. ​Keutamaan dan banyaknya pahala tauhid.

2. ​Keluasan karunia Allah, kebaikan, rahmat, dan pemaafan-Nya.

3. ​Bantahan terhadap Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar selain kesyirikan.

4. ​Penetapan sifat Kalam (Berbicara) bagi Allah ‘Azza wa Jalla atas apa-apa yang pantas dengan kemuliaan-Nya.

5.Penjelasan tentang makna Lâ Ilâha Illallâh, dan bahwasanya maknanya adalah meninggalkan kesyirikan, baik (kesyirikan) itu sedikit maupun banyak, dan tidaklah cukup dengan sekadar mengucapkan (kalimat) tersebut secara lisan.

6. ​Penetapan (akan adanya hari) berbangkit, hisab (perhitungan), dan pembalasan amalan.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Keutamaan Lâ Ilâha Illallâ: Diharamkan dari Neraka

Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâ, mengharapkan dengannya wajah Allah.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Makna Hadits Secara Global

Bahwa Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dengan kabar yang tegas bahwa orang yang mengucapkan kalimat Lâ Ilâha Illallâh dengan tujuan seperti yang ditunjukkan oleh kalimat tersebut, berupa ikhlas dan tidak berbuat syirik serta mengamalkan hal itu secara lahir dan batin, kemudian meninggal dalam keadaan seperti itu, ia tidak akan disentuh oleh api neraka pada hari kiamat.

Faedah Hadits:

1. ​Keutamaan tauhid, dan bahwa tauhid membebaskan pemiliknya dari neraka dan menghapuskan dosa-dosanya.

2. ​Bahwasanya ucapan tanpa keyakinan hati tidaklah cukup bagi keimanan, seperti keadaan orang-orang munafik.

3. ​Bahwasanya keyakinan (hati) tanpa ucapan tidaklah cukup bagi keimanan, seperti keadaan para penentang.

4. ​Diharamkannya neraka terhadap orang-orang yang memiliki tauhid yang sempurna.

5. Bahwa amalan tidak bermanfaat, kecuali dengan ikhlas mengharap wajah Allah dan benar sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

6. ​Orang yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh, tetapi juga berdoa kepada selain Allah, ucapannya tidaklah bermanfaat, seperti keadaan para penyembah kubur pada hari ini bahwa mereka mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh, tetapi mereka (juga justru) berdoa kepada orang yang sudah meninggal serta mendekatkan diri kepada orang tersebut.

7. ​Penetapan sifat wajah bagi Allah Ta’âlâ sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Allah Menjanjikan Surga bagi Mereka yang Bertauhid

مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ) أَخْرَجَاهُ

Dari ‘Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar, kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya, juga (bersaksi) bahwa Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya,kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya, serta bahwa surga adalah benar (adanya) juga neraka adalah benar (adanya), Allah pasti memasukkan dia ke dalam surga betapapun amal yang telah dia perbuat.”

Dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâry dan Muslim)

Makna Hadits Secara Global

Sesungguhnya Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita, dalam rangka menerangkan keutamaan dan kemuliaan tauhid, bahwa orang yang mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) dalam keadaan mengerti maknanya dan mengamalkan konsekuensinya secara lahir dan batin, menjauhi sikap berlebih-lebihan dan meremehkan hak dua nabi yang mulia, yaitu Isa dan Muhammad ‘alaihimas shalâtu was salâm, -mengakui kerasulan dan kehambaan keduanya kepada Allah dan meyakini bahwa keduanya tidak memiliki sedikitpun kekhususan dalam sifat rubûbiyyah- serta meyakini keberadaan surga dan neraka, tempat kembali dia adalah surga, meskipun darinya muncul perbuatan-perbuatan maksiat selain kesyirikan.

Faedah Hadits:

1. ​Keutamaan tauhid, dan bahwa sesungguhnya Allah menghapuskan dosa-dosa (hambanya) dengan (sebab) tauhidnya.

2. ​Luasnya keutamaan dan kebaikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.

3. Kewajiban menjauhi sikap berlebih-lebihan dan meremehkan hak para nabi dan orang-orang shalih maka kita tidak boleh mengingkari keutamaan mereka tidak pula berlebih-lebihan terhadap mereka sampai memalingkan suatu ibadah kepada mereka, seperti perbuatan sebagian orang-orang bodoh dan sesat.

4. ​Bahwa aqidah tauhid menyelisihi semua agama kekafiran, baik Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, maupun Dahriyyah.

5. ​Pelaku maksiat dari kalangan orang yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Hidayah dan Keamanan bagi Mereka yang Memurnikan Tauhidnya

Allah Ta’âlâ berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-An’âm: 82]

Makna Ayat Secara Global

Allah Subhânahu mengabarkan bahwa orang-orang yang ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak menodai tauhidnya dengan kesyirikan, merekalah orang-orang yang mendapatkan keamanan dari rasa takut dan hal-hal yang tidak menyenangkan pada hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk untuk berjalan di atas jalan yang lurus di dunia.

Faedah Ayat:

1. ​Keutamaan tauhid dan buah (tauhid) yang dapat dipetik di dunia dan di akhirat.

2. Bahwa syirik adalah kezhaliman yang membatalkan keimanan kepada Allah jika berupa syirik besar, dan mengurangi

keimanan jika berupa syirik kecil.

3. ​Bahwa syirik adalah dosa yang tidak diampuni.​

4. ​Kesyirikan mengakibatkan ketakutan di dunia dan di akhirat.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Hak Allah Atas Hamba-Hambanya Adalah Mereka Mentauhidkannya

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَعَن مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ فَقَالَ لِيْ: (يَا مُعَاذُ أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: (حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً) قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ؟) قَالَ: (لَا تُبَشِّرْهُم فَيَتَّكِلُوا) أَخْرَجَاهُ فِي الصَّحِيْحَيْنِ

Dari Mu’âdz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah dibonceng oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai, lalu beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’âdz, tahukah engkau apa hak Allah terhadap para hamba dan apa hak para hamba atas Allah?’
Saya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’​

Beliau pun menjawab, ‘Hak Allah terhadap para hamba ialah mereka beribadah kepada-Nya semata dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya, sedang hak para hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya.’
Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah saya (perlu) menyampaikan kabar gembira (ini) kepada manusia?’
Beliau menjawab, ‘Janganlah engkau menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka (karena) mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri.’.”

Dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâry dan Muslim) dalam Ash-Shahîhain.

Makna Hadits Secara Global

Bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam ingin menjelaskan kewajiban dan keutamaan bertauhid bagi para hamba. Maka, beliau menyampaikan hal itu dengan bentuk pertanyaan supaya hal itu lebih kukuh menancap dalam jiwa dan lebih optimal untuk sampai pada pemahaman orang yang diajari. Ketika Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan tauhid, Mu’âdz meminta izin untuk mengabarkan hal tersebut kepada manusia agar mereka bergembira karena (kabar) tersebut, tetapi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut karena takut bila orang-orang akan bersandar kepada hal itu sehingga meremehkan amal shalih.

Faedah Hadits:

1. Sifat rendah hati Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mengendarai keledai dan membonceng seseorang di atas (keledai) tersebut. Hal ini berbeda dengan keadaan orang-orang yang menyombongkan diri.

2. ​Bolehnya berboncengan di atas kendaraan jika kendaraannya kuat.

3. ​Pengajaran dengan metode tanya jawab.

4. ​Seseorang yang ditanya, tetapi ia tidak tahu, hendaknya mengatakan, “Allah yang lebih tahu.”

5. Mengenal hak Allah yang diwajibkan kepada para hamba, yaitu agar mereka menyembah hanya kepada-Nya semata, tiada serikat bagi-Nya.

6. ​Bahwasanya barangsiapa yang tidak menjauhi kesyirikan berarti pada hakikatnya dia belum menyembah Allah, meskipun kelihatannya dia menyembah Allah.

7. ​Keutamaan tauhid dan keutamaan orang yang berpegang teguh dengan (tauhid).

8. ​Tafsir tauhid, yaitu beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan terhadap-Nya.

9. ​Disukainya memberi kabar gembira kepada setiap muslim dengan hal-hal yang menggembirakannya.

10. ​Bolehnya menyembunyikan ilmu untuk kebaikan.

11. ​Sikap beradab seorang murid kepada gurunya.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Perintah Bertauhid dan Larangan Berbuat Kesyirikan

Allah Ta’âlâ berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan beribadahlah kalian kepada Allah, dan janganlah menyekutukan-Nya sedikit pun. [An-Nisâ`: 36]

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan melarang mereka dari kesyirikan. Allah tidak mengkhususkan (dalam perintah beribadah hanya kepada-Nya) pada salah satu jenis ibadah, baik doa, shalat, maupun (ibadah) lain, supaya perintah tersebut dapat mencakup semua jenis ibadah. Allah juga tidak mengkhususkan (larangan-Nya) dengan salah satu jenis kesyirikan supaya dapat mencakup semua jenis kesyirikan.

Faedah Ayat:

1. ​Kewajiban mengesakan Allah dalam ibadah karena Allah telah memerintahkan demikian. Ini merupakan kewajiban yang paling ditekankan.

2. ​Pengharaman kesyirikan karena Allah telah melarangnya. Kesyirikan adalah perkara yang paling diharamkan.

3. ​Bahwa menjauhi kesyirikan merupakan syarat sah ibadah karena Allah menggandengkan perintah untuk beribadah dengan larangan terhadap kesyirikan.

4. ​Sesungguhnya kesyirikan adalah haram, baik sedikit maupun banyak, baik besar maupun kecil, karena kata ‘syai`an’ berbentuk nakirah dalam konteks larangan sehingga maknanya mencakup segala jenis dan bentuk kesyirikan.

5. ​Bahwasanya tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam peribadahan, baik dengan malaikat, para nabi, orang shalih dari para wali, maupun dengan patung, karena kata ‘syai`an bermakna umum.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Perintah untuk Bertauhid dan Berbuat Baik Kepada Orang Tua

Allah Ta’âlâ berfirman,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kalian, “Janganlah kalian beribadah, kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaknya kalian berbuat baik kepada kedua orang tua (kalian) dengan sebaik-baiknya ….” [Al-Isrâ`: 23]

Ayat ini adalah pengabaran bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah memerintahkan dan mewasiatkan melalui lisan-lisan para rasul-Nya agar hanya Dia semata yang disembah, tidak ada yang disembah selain-Nya. Begitu juga wasiat agar seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, melalui ucapan atau perbuatan, serta tidak berbuat jelek kepada kedua (orang tua)nya karena kedua (orang tua)nyalah yang telah memelihara dan mendidiknya ketika masih kecil dan lemah sampai dia menjadi kuat dan dewasa.

Faedah Ayat:
1. ​Bahwasanya tauhid itu adalah kewajiban yang pertama kali Allah perintahkan, juga merupakan kewajiban yang pertama atas hamba.

2. ​Kandungan kalimat Lâ Ilâha Illallâh berupa peniadaan dan penetapan, yang padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tauhid tidak akan tegak, kecuali dibangun di atas nafi dan itsbat (meniadakan peribadahan kepada selain Allah dan menetapkan ibadah hanya untuk Allah saja) sebagaimana (penjelasan) yang telah berlalu.

3. ​Besarnya hak kedua orang tua. Allah mengikutkan hak kedua (orang tua) tersebut kepada hak-Nya, dan hak tersebut ada pada tingkatan kedua.

4. ​Kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua dengan segala jenis kebaikan, sebab Allah tidak mengkhususkan satu jenis kebaikan tanpa yang lainnya.

5. ​Keharaman durhaka terhadap kedua orang tua.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Dakwah Para Rasul Adalah Dakwah Tauhid

Allah Ta’âlâ berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (semata) dan jauhilah thaghut.’.” [An-Nahl: 36]

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah mengabarkan bahwa Dia telah mengutus seorang rasul pada setiap umat dan kurun manusia, yang mengajak kepada manusia untuk beribadah kepadaAllah semata dan meninggalkan peribadahan kepada selain-Nya. Allah terus mengutus para rasul-Nya kepada manusia sejak terjadinya kesyirikan pada bani Adam pada zaman Nabi Nuh hingga Allah menutup para nabi dengan Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Faedah Ayat
1. Sesungguhnya hikmah pengutusan para rasul adalah untuk berdakwah menyeru kepada tauhid dan melarang dari kesyirikan.

2. Sesungguhnya agama para nabi adalah satu, yaitu memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan, meskipun syariat mereka berbeda-beda.

3. ​Bahwa risalah (tauhid) ini berlaku untuk setiap umat dan hujjah telah tegak bagi seluruh umat manusia.

4. ​Ayat di atas menerangkan keagungan perkara tauhid dan bahwa tauhid wajib atas seluruh umat.

5. ​Di dalam ayat ini, terdapat kandungan kalimat Lâ Ilâha Illallâh berupa penafian (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak dapat ditegakkan, kecuali dengan keduanya (nafi dan itsbat). Adapun nafi saja, itu bukanlah penauhidan. Demikian pula, itsbat saja bukanlah penauhidan.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

 

Hikmah Penciptaan Jin dan Manusia

Allah Ta’âlâ berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

 “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]

Allah Ta’âlâ mengabarkan bahwa Allah tidaklah menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Nya.Maka ayat ini adalah penjelasan tentang hikmah penciptaan manusia dan jin. Allah tidak menginginkan apapun dari mereka sebagaimana keinginan seorang tuan dari budaknya, berupa bantuan rezeki dan makanan. Yang Allah inginkan justru kemaslahatan buat mereka.

Faedah Ayat:

1.Kewajiban mengesakan ibadah kepada Allah bagi seluruh makhluk: jin dan manusia.

2.Penjelasan tentang hikmah penciptaan jin dan manusia.

3.Bahwa Sang Penciptalah yang berhak mendapatkan peribadahan, bukan selain-Nya yang tidak menciptakan. Ini merupakan bantahan terhadap penyembah berhala dan selainnya.

4.Penjelasan bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak membutuhkan makhluk-Nya dan (penjelasan tentang) butuhnya para makhluk kepada Allah, sebab Dia-lah Yang mencipta, sedang mereka adalah yang diciptakan.

5.Penetapan adanya hikmah dalam setiap perbuatan-Nya Subhânahu wa Ta’ala.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

− 4 = 4