Bagaimana Doa Salaf saat Fitnah
Ibrahîm At-Taimy (w: 192H) berdoa,
اللَّهُمَّ اعْصِمْنِي بِدِينِكَ وَبِسُّنَّةِ نَبِيِّكَ، مِنَ الِاخْتِلَافِ فِي الْحَقِّ، وَمِنِ اتِّبَاعِ الْهَوَى، وَمِنْ سُبُلِ الضَّلَالَةِ، وَمِنْ شُبُهَاتِ الْأُمُورِ، وَمِنَ الزَّيْغِ وَالْخُصُومَاتِ
“Ya Allah, jagalah saya dengan agama dan sunnah Nabi-Mu dari perselisihan dalam kebenaran, mengikuti hawa nafsu, jalan-jalan kesesatan, dan kerancuan dalam segenap perkara, serta dari penyimpangan dan perdebatan.” [Disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jâmi Bayân Al-‘Ilm no. 2333, Asy-Syâthiby dalam Al-I’tishâm 1/143 (Tahqîq Masyhûr Hasan)]
Mati Yang Mulia di Kalangan Kaum Salaf
Imam Abdullah bin Al-Mubarak Al-Khurasâny berkata,
اعْلَمُ أَنِّي أَرَى أَنَّ الْمَوْتَ الْيَوْمَ كَرَامَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ لَقِيَ اللَّهَ عَلَى السُّنَّةِ , فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ , فَإِلَى اللَّهِ نَشْكُو وَحْشَتَنَا , وَذَهَابَ الْإِخْوَانِ , وَقِلَّةَ الْأَعْوَانِ , وَظُهُورَ الْبِدَعِ , وَإِلَى اللَّهِ نَشْكُو عَظِيمَ مَا حَلَّ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ مَنْ ذَهَابِ الْعُلَمَاءِ وَأَهْلِ السُّنَّةِ , وَظُهُورِ الْبِدَعِ
“Ketahuilah bahwa saya melihat kematian pada hari ini adalah suatu karamah bagi setiap muslim yang berjumpa dengan Allah di atas Sunnah. Innâ Lillâhi wa Innâ Ilaihi Râjiûn ‘Sesunggunya kami adalah milik Allah, dan sungguh kami akan kembali kepada-Nya’. Kepada Allah kami mengeluhkan kehambaran kami, berpulangnya segenap kawan, sedikitnya penolong, dan tampaknya bid’ah-bid’ah. Kepada Allah kami mengeluhkan besarnya (musibah) yang menimpa umat ini dengan kepergian ulama dan ahlussunnah, dan tampaknya berbagai bid’ah.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhâh dalam Al-Bida’ no. 97]
Telah Mati Hati Kalian karena Sepuluh Perkara
Suatu hari, Ibrahim bin Adham rahimahullah berlalu melewati pasar Bashrah. Manusia pun berkumpul kepadanya seraya berkata, “Wahai Abu Ishaq, sesungguhnya Allah berfirman dalam kitab-Nya, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagi kalian’. Sudah sekian lama kami berdoa tapi tidak dikabulkan?”
Beliau menjawab,
يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ، مَاتَتْ قُلُوبُكُمْ فِي عَشَرَةِ أَشْيَاءَ، أَوَّلُهَا: عَرَفْتُمُ اللَّهَ ولَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ، الثَّانِي: قَرَأْتُمْ كِتَابَ اللَّهِ ولَمْ تَعْمَلُوا بِهِ، وَالثَّالِثُ: ادَّعَيْتُمْ حُبَّ رَسُولِ اللَّهِ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهَ، وَالرَّابِعُ: ادَّعَيْتُمْ عَدَاوَةَ الشَّيْطَانِ وَوَافَقْتُمُوهُ، وَالْخَامِسُ: قُلْتُمْ نُحِبُّ الْجَنَّةَ ولَمْ تَعْمَلُوا لَهَا، وَالسَّادِسُ: قُلْتُمْ نَخَافُ النَّارَ وَرَهَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِهَا، وَالسَّابِعُ: قُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ، وَالثَّامِنُ: اشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ إِخْوَانِكُمْ وَنَبَذْتُمْ عُيُوبَكُمْ، وَالتَّاسِعُ: أَكَلْتُمْ نِعْمَةَ رَبِّكُمْ ولَمْ تَشْكُرُوهَا، وَالْعَاشِرُ: دَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ
“Wahai penduduk Bashrah, hati kalian telah mati pada sepuluh perkara,
Pertama, kalian mengenal Allah tapi tidak menunaikan hak-Nya.
Kedua, kalian membaca Al-Qur’an, tapi kalian tidak mengamalkannya.
Ketiga, kalian mengaku mencintai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, tapi kalian meninggalkan sunnahnya.
Keempat, kalian mengaku memusuhi syaithan, tapi kalian mencocokinya.
Kelima, kalian mengatakan bahwa kami mencintai surga, tapi kalian tidak beramal untuk (memasuki)nya.
Keenam, kalian mengatakan bahwa kami takut dari neraka, tapi kalian menggadai diri-diri kalian untuk neraka.
Ketujuh, kalian mengatakan bahwa kematian adalah benar adanya, tapi kalian tidak bersiap untuknya.
Kedelapan, kalian sibuk membicarakan aib-aib saudara-saudara kalian, sedang kalian mencampakkan aib-aib kalian sendiri.
Kesembilan, kalian memakan nikmat-nikmat Rabb kalian, tapi kalian tidak menunaikan kesyukuran kepada-Nya.
Kesepuluh, kalian telah mengubur orang-orang mati kalian, tapi kalian tidak mengambil pelajaran darinya.”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilayatul Auliyâ` 8/15-16. Disebutkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jâmi Bayân Al-‘Ilm no. 1220, Asy-Syâthiby dalam Al-I’tishâm 1/149 (Tahqîq Masyhûr Hasan), dan Al-Absyîhy dalam Al-Mustathraf 2/329.]
Contoh dari Lembaran Kaum Salaf Menjaga Keikhlasan
Al-Qâdhi ‘Alâ`uddin Ibnul Lahhâm berkata, “Pada suatu saat, Syaikh (Ibnu Rajab Al-Hanbaly) menyebutkan sebuah masalah kemudian beliau sangat meluas dalam (menjelaskan)nya. Saya sangat kagum terhadap beliau dan penguasaan beliau yang sangat kuat terhadap masalah itu. Setelah itu, terjadi (pembahasan) masalah tersebut dihadiri oleh pembesar-pembesar dari berbagai madzhab, dan (Ibnu Rajab) tidak berucap satu kalimat pun. Begitu (Ibnu Rajab) berdiri, saya berkata kepadanya, ‘Bukankah engkau telah menjelaskan (masalah tersebut) dengan pembicaraan (yang telah lalu)?’ (Ibnu Rajab) menjawab, ‘Saya hanya berbicara pada hal yang saya harapkan pahalanya, dan sangat khawatir untuk berbicara dalam majelis ini.’…” [Dzail ‘Alâ Dzail Thabaqât Al-Hanâbilah karya Ibnul Mibrad hal. 39, dengan perantara beberapa sumber.]
Menghadapi Orang Jahil
Imam Asy-Syafi’iy berkata,
يُخَاطِبُنِي السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ … فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبًا
يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حُلْمًا … كَعُوْدٍ زَادَهُ الْإِحْرَاقُ طِيْبًا
“Orang jahil berbicara kepadaku dengan segenap kejelekan
Akupun enggan untuk menjawabnya
Dia semakin bertambah kejahilan dan aku semakin bertambah kesabaran
Seperti gaharu dibakar, akan semakin menebar kewangian.” [Diwân Imam Asy-Syâfi’iy]
Nikmat Membawa Petaka
Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata,
كُلُّ نِعْمَةٍ لا تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ فَهِيَ بَلِيَّةٌ
“Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
Tiga Pokok Keimanan
‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,
عَمَّارٌ ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الإِيمَانَ الإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبَذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ ، وَالإِنْفَاقُ مِنَ الإِقْتَارِ
“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]
Di Atas Sunnah Adalah yang Terbaik
Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu berkata,
اقْتِصَادٌ فِي سَنَةٍ خَيْرٌ مِنِ اجْتِهَادٍ فِي بِدْعَةٍ
“Hemat dalam suatu sunnah adalah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam suatu bid’ah.” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarâny]
Ucapan ‘Saya Tidak Tahu’
Umar bin Al-Khaththab radhiyallâhu ‘anhu berkata,
الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ: كِتَابٌ نَاطِقٌ، وَسُنَّةٌ مَاضِيَةٌ، وَلَا أَدْرِيْ
“Ilmu ada tiga: Kitab (Al-Qur’an) yang berbicara, Sunnah (Nabi) yang terus berlaku, dan (upacan) ‘saya tidak tahu’.” [I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim]
Yang Menghancurkan Agama
Dari Ziyâd bin Hudair, beliau berkata, Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Apakah engkau tahu apa yang menghancurkan (agama) Islam?” Saya menjawab, “Tidak.” Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ، وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ، وَحُكْمُ الْأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ
“(Agama Islam) dihancurkan oleh ketergelinciran seorang alim, jidal kaum munafiqin dengan Al-Qur’an, dan hukum para pemimpin yang sesat.” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimy dan selainnya]
Hakikat Takwa
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumâ berkata,
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ حَقِيقَةَ التَّقْوَى حَتَّى يَدَعَ مَا حَاكَ فِي الصَّدْرِ
“Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat takwa hingga dia meninggalkan apa yang berseteru dalam hatinya.” [Disebutkan oleh Al-Bukhary dalam Shahihnya secara Mu’allaq]
Dari Bagian Keimanan
Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu berkata,
الصَّبْرُ نِصْفُ الإِيمَانِ، وَالْيَقِينُ الإِيمَانُ كُلُّهُ
“Sabar adalah seperdua keimanan, dan Yakin adalah keimanan seluruhnya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikhnya sebagaimana dalam Taghlîq At-Ta’lîq, dan Al-Hakim]
Lisanku Ini yang Telah Menyeretku kepada Berbagai Prahara
Suatu hari, Umar bin Al-Khaththab radhiyallâhu ‘anhu masuk menjumpai Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu, dan Abu Bakr sedang menarik lisannya. Umar berkata, “Ada apa? Semoga Allah mengampunimu.” Abu Bakr menjawab,
إِنَّ هَذَا أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ
“Sesungguhnya (lisan) ini telah menyeretku ke berbagai prahara.” [Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa` dengan riwayat Yahya bin Yahya]
Rasa Malu di Kalangan Shahabat
Abu Bakr Ash-Shiqqîq radhiyallâhu ‘anhu berkhutbah kepada manusia,
يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَظَلُّ حِينَ أَذْهَبُ إِلَى الْغَائِطِ فِي الْفَضَاءِ مُتَقَنِّعًا بِثَوْبِي اسْتِحْيَاءً مِنْ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai kaum muslimin sekalian, malulah kalian kepada Allah. Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya pergi membuat hajat di tanah lapang (tempat membuang hajat) dalam keadaan berkudung baju karena malu kepada Rabbku ‘Azza wa Jalla.” [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd]
Kalimat-kalimat Indah di awal Pemerintahan Abu Bakr
Setelah terangkat menjadi Khalifah, Abu Bakr Ash-Shiqqîq radhiyallahu ‘anhu berkhutbah,
“Amma Ba’du, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya telah dijadikan pemimpin terhadap kalian, sedang saya bukan orang yang terbaik di antara kalian. Apabila saya berbuat baik, bantulah saya. Apabila saya berbuat jelek, luruskanlah saya. Kejujuran adalah amanah dan dusta adalah khiyanat. Orang yang lemah di tengah kalian adalah kuat di sisiku hingga saya memberikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat di tengah kalian adalah lemah di sisiku hingga saya mengambil hak darinya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan memukul mereka dengan kehinaan. Tidaklah suatu kekejian tersebar di suatu kaum kecuali Allah akan meratakan mereka dengan bala. Taatilah saya selama saya menaati Allah dan Rasul-Nya. Apabila saya bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya tidak ketaatan untukku terhadap kalian…” [Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dalam As-Sîrah]
Nasihat Imam Asy-Syafi’iy kepada Muridnya, Imam Al-Muzany
Imam Al-Muzany bercerita:
“Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang beliau wafat, lalu kubertanya, “Bagaimana keadaanmu pada pagi ini, wahai Ustadzku?”
Beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan perjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tahu: apakah diriku berjalan ke surga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan, atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”
Aku berkata, “Nasihatilah aku.”
Asy-Syafi’iy berpesan kepadaku, “Bertakwalah kepada Allah, permisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu, dan janganlah lupa bahwa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah segalah hal yang Dia haramkan, laksanakanlah segala perkara yang Dia wajibkan, dan hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Janganlah sekali-kali engkau menganggap kecil nikmat Allah kepadamu -walaupun nikmat itu sedikit- dan balaslah dengan bersyukur. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai dzikir, dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang menzhalimimu, sambunglah (silaturrahmi dari)orang yang memutus silaturahmi terhadapmu, berbuat baiklah kepada siapapun yang berbuat jelek kepadamu, bersabarlah terhadap segala musibah, dan berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketakwaan.”
Aku berkata, “Tambahlah (nasihatmu) kepadaku.”
Beliau melanjutkan, “Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata percaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harapan adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai pakaianmu, shadaqah sebagai pelindungmu, dan zakat sebagai bentengmu. Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tenang sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu, dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur`an sebagai juru bicaramu dengan kejelasan, serta jadikanlah Allah sebagai Penyejukmu. Barangsiapa yang bersifat seperti ini, surga adalah tempat tinggalnya.”
Kemudian, Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersya’ir,
Kepada-Mu -wahai Ilah segenap makhluk, wahai Pemilik anugerah dan kebaikan-
kuangkat harapanku, walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku
kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku
Kurasa dosaku teramatlah besar, tetapi tatkala dosa-dosa itu
kubandingkan dengan maaf-Mu -wahai Rabb-ku-, ternyata maaf-Mu lebihlah besar
Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa, dan terus menerus
Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan
Andaikata bukan karena-Mu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh Iblis
bagaimana tidak, sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu,Adam
Kalaulah Engkau memaafkan aku, Engkau telah memaafkan
seorang yang congkak, zhalim lagi sewenang-wenang yang masih terus berbuat dosa
Andaikata Engkau menyiksaku, tidaklah aku berputus asa,
walaupun diriku telah engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku
Dosaku sangatlah besar, dahulu dan sekarang,
namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar
[Tarikh Ibnu Asakir Juz 51 hal. 430-431]
Nasehat untuk Yang Meremehkan Dosa
Bilâl bin Sa’d rahimahullâh berkata,
لَا تَنْظُرْ إِلَى صِغَرِ الْخَطِيئَةِ، وَلَكِنِ انْظُرْ مَنْ عَصَيْتَ
“Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, tetapi lihatlah terhadap siapa engkau bermaksiat.” [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd]
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Dari Yahya bin Abi Katsîr rahimahullah, beliau berkata,
لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Ilmu itu tidaklah didapatkan dengan jasad yang santai.” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Sebab yang Menurunkan dan Mengangkat Musibah
Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ وَلَا رُفِعَ بَلَاءٌ إِلَّا بِتَوْبَةٍ
“Tidaklah petaka turun, kecuali karena dosa, dan tidaklah petaka diangkat, kecuali dengan taubat.” [Ad-Dâ` wa Ad-Dawâ` hal. 118]
Musibah pada Kendaraan dan Istri Karena Maksiat
Berkata Al-Fudhail bin ‘Iyâdh,
إِنِّي لأَعْصِي اللَّهَ فَأَعْرِفُ ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي وَجَارِيَتِي
“Sesunggunya aku bermaksiat kepada Allah, hal tersebut aku ketahui (pengaruh jeleknya) dari akhlak kendaraan dan istriku.” [Shaidul Khâthir karya Ibnul Jauzi dan Al-Jawâb Al-Kâfi karya Ibnul Qayyim]
Allah Menyiksamu Karena Menyalahi Sunnah
Imam Para Tabi’in, Sa’id bin Musayyab rahimahullah melihat seorang melakukan shalat sunnah dua raka’at setelah shalat subuh, kemudian Sa’id melarangnya. Orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah menyiksaku karena suatu shalat?!” Sa’id menjawab,
لَا وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ
“Tidak, tapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah.” [Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ad-Darimy dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwâ` 2/236]
Di Antara Petaka Dosa
Ibnu Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,
إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ
“Sesungguhnya pada kebaikan terdapat sinar pada wajah, cahaya dalam hati, kelapangan dalam rezeki, kekuatan pada badan, dan kecintaan pada hati makhluk. Sesungguhnya pada kejelekan terdapat kegelapan pada wajah, gulita pada alam kubur dan hati, kelemahan pada badan, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian pada hati makhluk.” [Al-Jawâb Al-Kâfy hal. 62]
Takwa adalah Jalan Keselamatan dari Fitnah
Dalam menghadapi fitnah, Thalq bin Habib menasihatkan agar berlindung dengan ketakwaan. Ketika ditanya, “Apa takwa itu?” Beliau menjawab,
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكُ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
“Takwa adalah beramal ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah, mengharap rahmat Allah, dan meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah, takut akan siksaan Allah.” (Siyâr A’lam An-Nubalâ` dan selainnya)
Keberkahan Pada Ucapan Ulama Salaf
Ditanyakan kepada Hamdûn bin Ahmad Al-Qashshâr, “Mengapa ucapan para salaf lebih bermanfaat dari ucapan kita?”
Hamdûn menjawab, “Karena mereka berbicara untuk keagungan Islam, keselamatan jiwa-jiwa (manusia), dan (meraih) ridha Ar-Rahman. Sedang kita berbicara untuk kemulian diri sendiri, mencari dunia, dan penerimaan manusia.” [Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Hilyah dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân]
Panah-Panah Kematian
Ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid memintah nasihat ringkas, Abul ‘Atâhiyah menasihatinya dalam beberapa untaian syair,
لَا تَأْمَنِ الْمَوْتَ فِيْ طَرْفٍ وَلَا نَفَسٍ … وَلَوْ تَمَنَّعْتَ بِالْحِجَابِ وَالْحَرَسِ
وَاعْلَمْ بَأَنَّ سِهَامَ الْمَوْتِ قَاصِدَةٌ … لِكُلِّ مَدَرَّعٍ مِنَّا وَمُتَرَّسِ
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا … إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِيْ عَلَى الْيَبَسِ
“Janganlah merasa aman dari kematian dalam sekejam maupun senafas
walaupun engkau berlindung dengan tirai dan para pengawal.
Ketahuilah bahwa panah-panah kematian selalu membidik
setiap dari kita, yang berbaju besi maupun yang berperisai.
Engkau menghendaki keselamatan, sedang engkau tidak menempuh jalan-jalannya,
sesungguhnya perahu tidak akan berjalan di atas daratan kering.”
[Raudhatul ‘Uqalâ` karya Ibnu Hibban hal. 285]
Sunnah Allah Pada Suatu Kebenaran
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَالْحَقُّ مَنْصُوْرٌ وَمُمْتَحَنٌ فَلَا
تَعْجَبْ فَهَذِيْ سُنَّةُ الرَّحْمَانِ
“Kebenaran itu akan selalu menang dan mendapat ujian, maka janganlah
heran, sebab ini adalah sunnah Ar-Rahman (sunnatullah).”
[Al-Kâfiyah Asy-Syâfiyah 1/52 (Syarah Syaikh Shalih Al-Fauzan)]
Cara Mengenal Pendusta
Harun bin Sufyân Al-Mustamly bertanya kepada Imam Ahmad, “Bagaimana cara engkau mengetahui para pendusta?” Imam Ahmad menjawab, “Dengan (melihat) janji-janji mereka.”
[Dirwayatkan oleh Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil dan As-Sam’âny dalam Adabul Imlâ`]
Juallah Dia, Walaupun Hanya dengan Harga Segenggam Debu
Muhammad bin Abdillah Al-Baghdâdy bersenandung,
إِذَا مَا الْمَرْءُ أَخْطَأَهُ ثَلَاثٌ … فَبِعْهُ وَلَوْ بِكَفٍّ مِنْ رَمَادِ
سَلَامَةُ صَدْرِهِ وَالصِّدْقُ مِنْهُ … وَكِتْمَانُ السَّرَائِرِ فِي الْفُؤَادِ
“Apabila seorang kehilangan tiga (sifat),
Juallah dia, walaupun hanya dengan harga segenggam debu.
(Tiga sifat itu adalah) keselamatan hati, kejujuran jiwa,
dan menyembunyikan rahasia (orang lain) di dalam hati.”
[Raudhatul ‘Uqalâ` karya Ibnu Hibban hal. 53]
Mengukur Keikhlasan
Muhammad bin Abdawaih berkata, Saya mendengar Al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah berkata,
تَرْكُ الْعَمَلِ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يُعَافِيَكَ اللهُ عَنْهُمَا
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya`, dan beramal karena manusia adalah kesyirikan. Ikhlas adalah Allah menyelamatkan engkau dari dua perkara tersebut.”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Asâkir, sebagaimana dalam kitab Al-Âtsâr Al-Wâridah ‘Anil Aimmah fi Abwâbil I’tiqâd 1/159]
Hakikat Kehidupan Hamba
Al-Marrudzy berkata, “Suatu hari aku masuk menjumpai (Imam) Ahmad, lalu saya bertanya, ‘Bagaimana engkau di pagi ini?’ Beliau menjawab, ‘Aku masuk di waktu pagi dalam keadaan Rabbku menuntut (diriku) untuk menunaikan kewajiban, Nabi-Nya menuntutnya untuk menunaikan sunnah, dua malaikat menuntutnya untuk memperbaiki amalan, jiwanya menuntut (mengikuti) hawa nafsu, Iblis menuntutnya untuk kekejian, Malakul Maut menuntut nyawanya, dan keluarganya menuntut nafkah.’.”
[Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’lâ 1/570, dengan perantara kitab Kasykûl karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Aqil]
MasyaAllah bagus sekali…